Musholla Nurul Hidayah

Musholla Nurul Hidayah
Nurul Hidayah

Rabu, 20 November 2013

shalat imam dan ma'mum



الفصل السابع
فى الاشياء التى اذا فسدت لها صلاة الامام يتعدى الفساد الى المامومين واتفقوا على انه اذا طرا عليه الحديث في الصلاة فقطع ان صلاة المامومين ليست تفسد, واختلفوا اذا صلى بهم وهو جنب وعلموا بذلك بعد الصلاة, فقال قوم : صلاتهم صحيحة, وقال قوم : صلاتهم فاسدة, وفرق قوم بين ان يكون الامام عالما يحنابته او ناسيا لها, فقالوا ان كان عالما فسدت صلاتهم, وان كان ناسيا لم تفسد صلاتهم, وبالاول قال الشافعى, وبالثانى قال ابو حنفة, وبالثالث قالى مالك. وسبب اختلافهم هل صحة انعقاد صلاة الماموم مرتبطة بصحة صلاة الامام ام ليست مرتبطة؟ فمن لم يرها مرتبطة قال : صلاتهم جائزة, ومن راها مرتبطة قال : صلاتهم فاسدة, ومن فوق بين السهو والعبد قصد الى ظاهر الائر المتقدم وهو, انه عليه الصلاة والسلام كبر فى صلاة من الصلاوات, ثم اشار اليهم ان امكثوا, فذهب ثم رجع وعلى جسمه اثر الماء, فان ظاهر هذا انهم بنوا على صلاتهم, والشافعي يرى انه لو كانت الصلاة مرتبطة للزم ان يبدء وابالصلاة مرة ثانية.

Selasa, 05 November 2013

Paman-paman Nabi Muhammad SAW

( Wafat 32 H)
Nama sebenarnya adalah Abbas bin Abdul Muthalib bin Hasyim, ia adalah seorang paman Nabi Shallallahu alaihi wassalam, dengan nama panggilan Abu Fadhel, ia termasuk pemukan Quraisy baik semasa jahililliyah maupun setelah Islam, ia memeluk Islam sebelum Hijrah secara diam diam dan tetap berdiam di Makkah guna dapat mengirimkan berita tentang kaum Musryikin kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam.
Dia sempat mengikuti perang Hunain bersama Rasulullah dan termasuk pertahanan yang paling kuat, ia ikut rombongan Anshar dalam Baiat Akabah. Ia adalah paman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam dan salah seorang yang paling akrab dihatinya dan yang paling dicintainya. Karena itu, beliau senantiasa berkata menegaskan, “Abbas adalah saudara kandung ayahku. Barangsiapa yang menyakiti Abbas sama dengan menyakitiku.
Di zaman Jahiliah, ia mengurus kemakmuran Masjidil Haram dan melayani minuman para jamaah haji. Seperti halnya ia akrab di hati Rasulullah, Rasulullah pun dekat dengannya. Ia pemah menjadi pembantu dan penasihat utamanya dalam bai’at al-Aqabah menghadapi kaum Anshar dari Madinah. Menurut sejarah, ia dilahirkan tiga tahun sebelum kedatangan Pasukan Gajah yang hendak menghancurkan Baitullah di Mekkah. Ibunya, Natilah binti Khabbab bin Kulaib, adalah seorang wanita Arab pertama yang mengenakan kelambu sutra pada Baitullah al-Haram.
Pada waktu Abbas masih anak-anak, ia pemah hilang. Sang ibu lalu bernazar, kalau puteranya itu ditemukan, ia akan mengenakan kelambu sutra pada Baitullah. Tak lama antaranya, Abbas ditemukan, maka iapun menepati nazamya itu
Istrinya terkenal dengan panggilan Ummul Fadhal (ibu Si Fadhal) karena anak sulungnya bernama al-Fadhal. Wajahnya tampan. Ia duduk dibelakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau menunaikan haji wada’-nya. Ia meninggal dunia di Syam karena bencana penyakit. Anak-anaknya yang lain sebagai berikut ; yaitu anak kedua, Abdullah, seorang ahli agama yang mendapat doa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, meninggal di Thaif. Ketiga, Qutsam, wajahnya mirip benar dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ia pergi berjihad ke negeri Khurasan dan meninggal dunia di Samarkand. Keempat, Ma’bad, mati syahid di Afrika. Abdullah (bukan Abdullah yang pertama), orangnya baik, kaya,dan murah hati meninggal dunia di Madinah. Kelima, Puterinya, Ummu Habibah.
Para ulama berbeda keterangan tentang Islamnya Abbas. Ada yang mengatakan, sesudah penaklukkan Khaibar. Ada yang mengatakan, lama sebelum Perang Badar. Katamya, ia memberitakan kegiatan kaum musyrikin kepada Nabi di Madinah, dan kaum muslimin yang ada di Mekkah banyak mendapat dukungan dari beliau. Kabamya, ia pemah menyatakan keinginannya untuk hijrah ke Madinah, tapi Rasulullah menyatakan, “engkau lebih baik tinggal di Mekah “.
Keterangan kedua ini dikuatkan oleh keterangan Abu Rafi’, pembantu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Pada waktu itu, ketika aku masih kanak-kanak, aku menjadi pembantu di rumah Abbas bin Abdul Muththalib. Ternyata, pada waktu itu, Islam sudah masuk ke dalam rumah tangganya. baik Abbas maupun Ummul Fadhal, keduanya sudah masuk Islam. Akan tetapi, Abbas takut kaumnya mengetahui dan terpecah-belah, lalu ia menyembunyikan keislamannya.”
–ooOoo–











( Wafat 3 H)
Nama sebenarnya adalah Abdu Manaf bin Abdul Muthalib bin Hasyim, sedang “Abu Thalib” adalah nama Panggilan yang berasal dari putra pertamanya yaitu Thalib. Abu Thalib adalah paman dan ayah asuh Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam, Ia adalah ayah dari Ali bin Abi Thalib.
Abu Thalib telah menerima amanat dari ayahnya Abdul Mutthalib untuk mengasuh Nabi dan telah dilaksanakan amanat tersebut. Nabi adalah sebaik-baik asuhan dan Abu Thalib adalah sebaik-baik pengasuh.
Abu Thalib membela Nabi dengan jiwa raganya dalam berdakwah. Ketika Nabi Shallallahu alaihi wassalam dan pengikutnya di hadang di sebuah lembah. Lalu datanglah Abu Thalib dengan tegar berkata: “Kalian tidak akan dapat menyentuh Muhammad sebelum kalian menguburkanku”. Abu Thalib selalu setia mendampingi Nabi. Beliau adalah orang yang banyak membantu perjuangan dakwah Islam.
Abu Thalib ketika mau meninggal dunia berwasiat kepada keluarganya untuk selalu berada di belakang Nabi dan membelanya untuk menenangkan dakwahnya.
Abu Thalib adalah pahlawan Bani Hasyim terkemuka dan pemimpin mereka. Nabi mengajaknya masuk Islam tapi dia menolak.
Hadist Bukhari dalam Shahihnya, kitab tafsir No. 4675 dan 4772, Muslim 24, Dari Al Musayyib bin Hazn berkata, “Ketika Abu Thalib hampir mati, Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam mengunjunginya dan mendapati Abu Jahl dan Abdullah bin Abi Umayyah di sisi Abu Thalib. Lalu Rasulullah berkata, ”Wahai paman, ucapkan Laa Ilaha Illallah suatu kalimat yang aku akan membelamu karena ucapan itu dihadapan Allah.”
Abu Jahl dan Abdullah bin Abi Umayyah berkata, “Apakah kamu membenci agama Abdul Muthalib?” Beliau terus menerus menawarkan kepada pamannya untuk mengucapkannya, tetapi kedua orang itu terus mengulang-ulang. Hingga akhir ucapan Abu Thalib adalah tetap berada pada agama Abdul Muthalib dan enggan mengucapkan Laa Ilaha Illallah. Rasulullah bersabda,
“Aku benar-benar akan memintakan ampunan bagimu selama tidak dilarang “.
Lalu Allah menurunkan ayat,
Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, Walaupun ornag-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik adalah penghuni neraka jahanam. (At Taubah : 113).
Ayat ini diturunkan Allah berkenaan dengan Abu Tholib. Dan Allah berfirman kepada Rasullulah
Sesungguhnya kamu tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu cintai, tetapi Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. (Al-Qoshosh : 56).
Riwayat lain: Dari Abu Hurairah, berkata ;
Rasulullah berkata pada pamannya, “ Ucapkan Laa Ilaaha Illallah, aku akan bersaksi untukmu pada hari kiamat “, Abu Thalib menjawab, “ Seandainya orang Quraisy tidak mencelaku dengan mengatakan “ Abu Thalib mengucapkan itu karena hampir mati ”. Lalu Allah menurunkan ayat (At Taubah : 113) kepada Rasulullah.
Dari Al Abbas bin Abdul Muthalib, berkata, “Wahai Rasullulah, apakah engkau bisa memberi manfaat kepada Abu Thalib, sebab dia dulu memeliharamu dan membelamu?” Jawab beliau, “Benar, dia berada di neraka yang paling dangkal, kalau bukan karenaku niscaya dia berada di neraka yang paling bawah.“ (HR. Bukhari no. 3883, 6208, 6572, Muslim 209)
Dari Abu Sa`id Al Khudri, berkata, Disebutkan disisi Rasulullah pamannya Abu Thalib, maka beliau bersabda, ” Somoga syafa’atku bermanfaat baginya kelak di hari kiamat. Karena itu dia ditempatkan di neraka yang paling dangkal, api neraka mencapai mata kakinya lantaran itu otaknya mendidih”. (HR.Bukhari 3885, 6564, Muslim 210)
Masih banyak riwayat lainnya yang menyatakan kekufuran Abu Thalib pada saat menjelang kematian.
Ia wafat pada tahun 3 SH.
Disalin dari riwayat Abu Thalib dalam Ishabah 1/117, Thabaqat Ibn Sa’ad 1/24 dan sumber lainnya
–ooOoo–
( Wafat 3 H)
Nama sebenarnya Hamzah bin Abdul Muthalib bin Hasyim, seorang paman Nabi dan saudara sepersusuannya. Dia memeluk Islam pada tahun kedua kenabian, Ia Ikut Hijrah bersama Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam dan ikut dalam perang Badar, dan meninggal pada saat perang Uhud, Rasulullah menjulukinya dengan “Asadullah” (Singa Allah) dan menamainya sebagai “Sayidus Syuhada”.
Ibnu Atsir berkata dalam kitab ‘Usud al Ghabah”, Dalam perang Uhud, Hamzah berhasil membunuh 31 orang kafir Quraisy, sampai pada suatu saat beliau tergelincir sehingga ia terjatuh kebelakang dan tersingkaplah baju besinya, dan pada saat itu ia langsung ditombak dan dirobek perutnya . lalu hatinya dikeluarkan oleh Hindun kemudian dikunyahnya hati Hamzah tetapi tidak tertelan dan segera dimuntahkannya.
Ketika Rasulullah melihat keadaan tubuh pamannya Hamzah bin Abdul Muthalib, Beliau sangat marah dan Allah menurunkan firmannya ,” Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar. (Qs; an Nahl 126)
Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq didalam kitab,” Sirah Ibnu Ishaq” dari Abdurahman bin Auf bahwa Ummayyah bin Khalaf berkata kepadanya “ Siapakah salah seorang pasukan kalian yang dadanya dihias dengan bulu bulu itu?”, aku menjawab “Dia adalah Hamzah bin Abdul Muthalib”. Lalu Umayyah dberkata Dialah yang membuat kekalahan kepada kami”.
Abdurahman bin Auf menyebutkan bahwa ketika perang Badar, Hamzah berperang disamping Rasulullah dengan memegang 2 bilah pedang.
Diriwayatkan dari Jabir bahwa ketika Rasulullah shallallahu alaihi wassalam melihat Hamzah terbunuh, maka beliau menagis.


Ia wafat pada tahun 3 H, dan Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam dengan “Sayidus Syuhada”.
Disalin dari riwayat Hamzah bin Abul Muthalib dalam Usud al Ghabah Ibn Atsir, Sirah Ibn Ishaq. [ ]

KH Ma'ruf Irsyad

KH Ma’ruf Irsyad
Sosok yang Ikhlas dan Bersahaja

Selalu ikhlas dan berlapang dada, sudah menjadi piawainya sejak kecil. Tidak pernah menolak undangan dari masyarakat sekitar, adalah prinsipnya. Tak heran, jika namanya selalu dikenang masyarakat, termasuk ilmu-ilmunya. Berikut laporan Muchammad. Izzul Ma’aly, Wartawan Arwaniyyah Kudus.

Pepatah mengatakan, “Gajah mati meninggalkan gading, Harimau mati meninggalkan belang, sementara manusia mati meninggalkan nama.” Inilah KH. Ma’ruf Irsyad, tak sekadar meninggalkan nama, tapi meninggalkan ilmu untuk masyarakat luas. Meski jasadnya kini telah terkubur rapat di dalam tanah. Ajaran-ajaran dan namanya, hingga kini masih terngiang di hati masyarakat.
Tanggal 22 Juli 2010, pukul 10.50 WIB, menjadi momen penting bagi masyarakat Kudus, sekaligus momen yang memilukan. Karena mereka harus rela melepas kepergian KH Ma’ruf Irsyad untuk selamanya di usianya yang ke 73 tahun. Tak ada yang tahu, dan tak ada yang dapat mencegah, ketika Malaikat Izrail sudah hadir di hadapan kita.
Ribuan pasang mata menjadi sembab. Mengantar kepergiannya hingga ke peristirahatan terakhir. Jasadnya bersemayam di makam Sidoluhur Krapyak, Kudus, berdampingan dengan makam ayahandanya, KH Irsyad.
Sejak kecil, putera pasangan KH Irsyad dan Hj Munijah ini, hidup dalam lingkungan sederhana. Hanya berbekal kasih sayang Ibundanya (karena ditinggal wafat ayahnya sejak kecil), Ma’ruf kecil memulai pendidikannya di SD Purwosari, Kudus. Karena sesuatu hal, ia pindah ke SD Demangan, Kudus, sembari menimba ilmu agama kepada para kyai di tanah kelahirannya.
Selepas dari SD, Ma’ruf melanjutkan pendidikannya di Madrasah Tsanawiyyah (MTs) TBS (Tasywiquth Thullab Salafiyyah) Kudus. Dan itu menjadi bangku sekolah formal terakhir yang dienyamnya. Di sekolah yang terkenal dengan ilmu salahfnya itu, Pengasuh Pondok Pesantren Raudlotul Muta’allimin ini mendapatkan ajaran ilmu salaf dari beberapa kiyai. Diantaranya KH Arwani Amin, KH Ma’mun Ahmad, dan KH Hambali.
Selepas dari MTs TBS, Ma’ruf remaja tak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, karena kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan. Namun, kondisi tersebut tak membuatnya putus semangat, ia tetap berbesar hati bahwa ilmu tak hanya bersumber dari sekolah formal. Justru ayah dari enam anak ini, sewaktu muda menimba ilmu dari satu kiyai ke kiyai yang lain. Tak heran, jika ilmunya selalu bertambah.

Ikhlas dan Bersahaja
Ikhlas dan bersahaja dalam menjalani hidup, sudah diajarkan orang tuanya sejak kecil. Tak heran, jika seamasa hidupnya, kiyai yang dikenal dengan kesabarannya ini, lebih memilih hidup sederhana daripada harus memperlihatkan kemewahannya. Kendati demikian, tak seorang pun yang menganggap rendah dan merendahkannya. Semua orang menghormatinya. Bahkan, kalau boleh berkata, siapa yang tak kenal beliau. Hampir berbagai lapisan masyarakat, dari santri, priyayi, hingga para habaib di Kudus, mengenalnya dengan baik. Itulah yang membuat besan KH Abdul Basyir ini tak pernah absen ketika ada undangan pengajian atau hajatan dari masyarakat sekitar.
Dengan ditemani sepeda kumbang, Kiyai Ma’ruf menjalani aktifitasnya dengan sangat disiplin. Mulai dari mengajar, dakwah, hingga memenuhi undangan. Pernah suatu kali ditegur oleh sang istri, Hj Salamah, agar tidak terus-terusan naik sepeda. “Mbok jangan naik sepeda terus, kan bisa nyuruh santri antar-jemput". Tapi beliau selalu beralasan kalau bersepeda untuk berolahraga, agar badan tetap sehat dan tidak sakit-sakitan. Kasihan juga merepotkan orang lain, disuruh antar-jemput segala,” kenang Hj Salamah sembari menirukan ucapan suami tercintanya.
Dalam kehidupan sehari-hari, Kiyai yang berkediaman di Desa Langgardalem, Kecamatan Kota, Kudus ini sangat gemar bermasyarakat. Seperti tak ada sekat antara kiyai dan masyarkat biasa. Pandai bergurau, dan mengenakan pakaian sepantasnya, membuatnya mudah akrab dengan lawan bicaranya.
Sifat ramah dan tidak pernah menolak undangan dari siapapun, dimanapun dan kapanpun pula yang membuatnya akrab dengan masyarakat sekitar. Selagi mampu, kapanpun undangan itu akan dipenuhi. Tidak jarang dalam sehari bisa memenuhi undangan lebih dari tiga kali, itupun beliau bagi dengan rata. “Jadi kalau tidak mendapat bagian mengisi mauidhoh (ceramah), ya cukup tahlil, doa penutup, bahkan pembawa acara pun beliau penuhi,” certita ibu enam anak ini.
Karena sambung Salamah, beliau tidak mau membuat kecewa masyarakat yang mengundanganya. Meski sebentar, yang penting semua dapat dihadiri, agar yang bersangkutan merasa senang atas kehadiran beliau.

Gemar Mengaji dan Berdakwah
Semasa kecil hingga menjelang akhir hayat, KH Ma’ruf Irsyad tidak pernah berhenti belajar, meski jumlah santrinya mencapai ribuan. Masa muda adalah masa keemasan untuk mengejar semua cita-cita. Mengaji dan mengaji, dilakukan tanpa kenal lelah. Meski tidak pernah hidup dalam ruang pesantren, Kiyai Ma’ruf tak merasa kecil hati. Bahkan, kesederhanannya itu yang membuatnya selalu bersemangat untuk terus mencari ilmu hingga di akhir hayatnya.
Ketekunan dan keikhlasannya dalam belajar, membuatnya dikenal dan di sayang okeh para gurunya. Termasuk Kyai Sirojuddin, ulama asal Kabupaten Pati yang mengajarkan Kitab Bukhori di Masjid Kaujon setiap Jum’at pagi, yang diselenggarakan oleh Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ (NU). Berkat ketekunannya, ia dipercaya untuk meneruskan pengajian Kitab Bukhori, setelah Kyai Sirojuddin wafat.
Melihat ketekunan itu, ayahandanya pernah memintanya untuk membantu kakak iparnya, KH. Rif’an, untuk mengajar Pesantren abahnya, yakni di Pondok Pesantren Roudlotul Muta’allimin (PPRM). Di sela-sela waktu mengajar, Ma’ruf juga meluangkan waktu untuk belajar kepada kakak iparnya.
Selain berdakwah melalui majlis ta’lim, alumni MTs TBS ini juga mengajar di Madrasah Qudsiyyah Menara Kudus. Selang beberapa waktu kemudian, dia mendapat tawaran untuk mengajar di TBS menggantikan KH Hambali, karena meninggal dunia. Berawal dari situ, beberapa madrasah lainnya, memintanya untuk menjadi salah satu guru di madrasahnya. Diantaranya MA NU Mu’allimat, MA NU Banat Kudus, dan Madrasah Diniyyah Mu’awanatul Muslimin. Semua dilakukan dengan ikhlas tanpa pamrih. Tidak pernah sekalipun minta diantar-jemput oleh pihak madrasah, dan sepeda kumbang menjadi teman sejatinya menularkan ilmu hingga kondisinya benar-benar tidak sanggup lagi mengayuh sepeda tua itu.
Nasib tak akan kemana, jika hati sudah ikhlas. Berkat dedikasinya di Qudsiyyah, Kiyai Ma’ruf diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang ketika itu berkonsentrasi di UGA (Urusan Agama). Tawaran itu diterima untuk mememenuhi kebutuhan keluarga. Di samping itu, untuk beramal kepada Madrasah Qudsiyyah. Karena dengan gaji PNS, ia tidak mau lagi diberi gaji dari pihak Madrasah Qudsiyyah.
Nampaknya embel-embel PNS yang melekat pada baju dinasnya, tidak bertahan lama, karena dia harus mengundurkan diri. “Waktu itu kan pemerintah mengharuskan PNS mengikuti salah satu Partai Politik. Beliau merasa kurang cocok sehingga secepatnya mengundurkan diri,” jelas Nyai Salamah saat ditemui dikediamannya beberapa waktu lalu.
Pengalaman menjadi PNS, merupakan pertama dan terakhir kali baginya. Berawal dari pengalaman itu, Kiyai Ma’ruf tak ingin lagi menjadi PNS, tidak mau lagi mengejar duniawi yang berlebihan. Menjadi guru di madrasah tanpa menyandang predikat PNS menjadi pilihannya, karena itu dirasa lebih cukup dan barokah, dibanding ketika menjadi PNS.

Majlis yang diasuh
Dipanggilnya KH Ma’ruf Irsyad ke rahmatullah untuk selamanya itu, membawa duka yang sangat dalam bagi keluarga, masyarakat, dan para santrinya. Sosok guru yang ikhlas dan kharismatik itu, kini tinggal kenangan. Berbagai majlis pengajian baik di pesantren maupun di Masjid-masjid, yang semula dipimpin oleh kakek 14 cucu ini, kini digantikan oleh para menantu dan orang-orang terdekanya. Para menantu yang menggantikan pengajiannya antara lain Ustadz Masfu’i, Ustadz Basith Al-Hafidz (Putera dari KH. Qodir Janggalan), Guz Jazuli (putera KH. Basyir Bareng) dan Ustadz Fikri. Selain menantunya ada juga KH Kustur Faiz, KH Ahmadi A. Fatah, Ustadz H Durrun Nafis serta para kiyai dan asatidz yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Sebelum wafat, suami Hj Salamah ini menulis secarik surat berisi wasiat penting. “Aku pesan, kepada anak-anakku dan istriku setiap hari harus membaca surah Al-fatihah 1x dan Al-ikhlas 3x,” begitu kiranya pesan yang ditinggalkan oleh Kiyai Ma’ruf. Dan pesan inilah yang selalu dijaga oleh istri dan anak-anak beliau.
Sehingga, kepulangan Yai Ma’ruf kehadirat Allah SWT, hanyalah jasadnya. Namun ruh serta ajaran beliau masih dan akan terus menyertai kehidupan kita semua. Meski Kudus telah kehilangan mutiara yang sangat berharga, nama beliau akan tetap terjaga untuk selamanya. Dan semoga akan tumbuh lagi sosok Ma’ruf yang ikhlas, bersahaja dan kharismatik di masa depan kelak. Selamat jalan Mbah Yai. [ ]

Senin, 04 November 2013

Ulama' Tasawuf ikut Imam Syafi'i

Syeikh Abdul Qadir Al Jilani
(470H-561H)
Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah seorang ‘alim di Baghdad. Biografi
beliau dimuat dalam Kitab Adz Dzail ‘Ala Thabaqil Hanabilah I/301-390, nomor 134, karya Imam Ibnu Rajab Al Hambali. Buku ini belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Imam Ibnu Rajab menyatakan bahwa Syeikh Abdul Qadir Al
Jilani lahir pada tahun 490/471 H di kota Jailan atau disebut juga dengan
Kailan. Sehingga diakhir nama beliau ditambahkan kata Al Jailani atau Al
Kailani atau juga Al Jiliy. Wafat pada hari Sabtu malam, setelah maghrib,
pada tanggal 9 Rabi’ul Akhir tahun 561 H di daerah Babul Azaj. Beliau
meninggalkan tanah kelahiran, dan merantau ke Baghdad pada saat beliau masih muda. Di Baghdad belajar kepada beberapa orang ulama’ seperti Ibnu Aqil,Abul Khatthat, Abul Husein Al Farra’ dan juga Abu Sa’ad Al Muharrimi.
Beliau belajar sehingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga
perbedaan-perbedaan pendapat para ulama’. Suatu ketika Abu Sa’ad Al
Mukharrimi membangun sekolah kecil-kecilan di daerah yang bernama Babul
Azaj. Pengelolaan sekolah ini diserahkan sepenuhnya kepada Syeikh Abdul
Qadir Al Jailani. Beliau mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh.
Bermukim disana sambil memberikan nasehat kepada orang-orang yang ada
tersebut. Banyak sudah orang yang bertaubat demi mendengar nasehat beliau. Banyak orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang ke sekolah beliau. Sehingga sekolah itu tidak kuat menampungnya. Maka, diadakan perluasan.
Murid-murid beliau banyak yang menjadi ulama’ terkenal. Seperti Al Hafidz Abdul Ghani yang menyusun kitab Umdatul Ahkam Fi Kalami Khairil Anam. Juga Syeikh Qudamah penyusun kitab figh terkenal Al Mughni.
Syeikh Ibnu Qudamah rahimahullah ketika ditanya tentang Syeikh Abdul Qadir, beliau menjawab, ” kami sempat berjumpa dengan beliau di akhir masa
kehidupannya. Beliau menempatkan kami di sekolahnya. Beliau sangat perhatian terhadap kami. Kadang beliau mengutus putra beliau yang bernama Yahya untuk menyalakan lampu buat kami. Beliau senantiasa menjadi imam dalam shalat fardhu.” Syeikh Ibnu Qudamah sempat tinggal bersama beliau selama satu bulan sembilan hari. Kesempatan ini digunakan untuk belajar kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani sampai beliau meninggal dunia. 1) Beliau adalah seorang ‘alim. Beraqidah Ahlu Sunnah, mengikuti jalan Salafush Shalih. Dikenal banyak memiliki karamah-karamah. Tetapi banyak (pula) orang yang
membuat-buat kedustaan atas nama beliau. Kedustaan itu baik berupa
kisah-kisah, perkataan-perkataan, ajaran-ajaran, “thariqah” yang berbeda
dengan jalan Rasulullah, para sahabatnya, dan lainnya. Diantara perkataan
Imam Ibnu Rajab ialah, ” Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah seorang yang
diagungkan pada masanya. Diagungkan oleh banyak para syeikh, baik ‘ulama dan para ahli zuhud. Beliau banyak memiliki keutamaan dan karamah. Tetapi ada seorang yang bernama Al Muqri’ Abul Hasan Asy Syathnufi Al Mishri (orang Mesir ) mengumpulkan kisah-kisah dan keutamaan-keutamaan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam tiga jilid kitab.
Dia telah menulis perkara-perkara yang aneh dan besar (kebohongannya). Cukuplah seorang itu berdusta, jika dia menceritakan yang dia dengar. Aku telah melihat sebagian kitab ini, tetapi hatiku tidak tentram untuk beregang dengannya, sehingga aku meriwayatkan apa yang ada di dalamnya. Kecuali kisah-kisah yang telah mansyhur dan terkenal dari selain kitab ini. Karena kitab ini banyak berisi riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal. Juga terdapat perkara-perkara yang jauh ( dari agama dan akal ), kesesatan-kesesatan, dakwaan-dakwaan dan perkataan yang batil tidak berbatas. semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani rahimahullah. Kemudian aku dapatkan bahwa Al Kamal Ja’far Al Adfwi telah menyebutkan, bahwa Asy Syath-nufi sendiri tertuduh berdusta atas kisah-kisah yang diriwayatkannya dalam kitab ini.” Imam Ibnu Rajab juga berkata, ” Syeikh Abdul Qadir Al Jailani rahimahullah memiliki pendapat memiliki pendapat yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu ma’rifat yang sesuai dengan sunnah. Beliau memiliki kitab Al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq, kitab yang terkenal.
Beliau juga mempunyai kitab Futuhul Ghaib. Murid-muridnya
mengumpulkan perkara-perkara yang berkaitan dengan nasehat dari
majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya, ia
berpegang dengan sunnah. Beliau membantah dengan keras terhadap orang-orang yang menyelisihi sunnah .” Syeikh Abdul Qadir Al Jailani menyatakan dalam kitabnya, Al Ghunyah, ” Dia ( Allah ) di arah atas, berada diatas ‘arsyNya, meliputi seluruh kerajaanNya. IlmuNya meliputi segala sesuatu.” Kemudian beliau menyebutkan ayat-ayat dan hadist-hadist, lalu berkata ” Sepantasnya menetapkan sifat istiwa’ ( Allah berada diatas ‘arsyNya ) tanpa takwil (menyimpangkan kepada makna lain ). Dan hal itu merupakan istiwa’ dzat Allah diatas arsys.”6) Ali bin Idris pernah bertanya kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, ” Wahai tuanku, apakah Allah memiliki wali ( kekasih ) yang tidak berada di atas aqidah ( Imam ) Ahmad bin Hambal?” Maka beliau menjawab, “Tidak pernah ada dan tidak akan ada.
Perkataan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani tersebut juga dinukilkan oleh
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Al Istiqamah I/86. Semua itu
menunjukkan kelurusan aqidahnya dan penghormatan beliau terhadap manhaj
Salaf.
Sam’ani berkata, ” Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah penduduk kota
Jailan. Beliau seorang Imam bermadzhab Hambali. Menjadi guru besar madzhab ini pada masa hidup beliau.”
Imam Adz Dzahabi menyebutkan biografi Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam Siyar A’lamin Nubala, dan menukilkan perkataan Syeikh sebagai berikut,”Lebih dari lima ratus orang masuk Islam lewat tanganku, dan lebih dari seratus ribu orang telah bertaubat.”
Imam Adz Dzahabi menukilkan perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan Syeikh Abdul Qadir yang aneh-aneh sehingga memberikan kesan seakan-akan beliau mengetahui hal-hal yang ghaib. Kemudian mengakhiri perkataan, “ Intinya Syeikh Abdul Qadir memiliki kedudukan yang agung. Tetapi terdapat kritikan-kritikan terhadap sebagian perkataannya dan Allah menjanjikan (ampunan  atas kesalahan-kesalahan orang beriman ). Namun sebagian perkataannya merupakan kedustaan atas nama beliau.”( Siyar XX/451 ).
Imam Adz Dzahabi juga berkata, ” Tidak ada seorangpun para kibar masyasyeikh yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syeikh  Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak diantara riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi “.
Syeikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil, hal.136, ” Aku telah mendapatkan aqidah beliau  ( Syeikh Abdul Qadir Al Jailani ) didalam kitabnya yang bernama Al Ghunyah. Maka aku mengetahui dia sebagai seorang Salafi. Beliau menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan aqidah-aqidah lainnya di atas manhaj Salaf. Beliau juga membantah kelompok-kelompok Syi’ah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya dengan manhaj Salaf.
Inilah tentang beliau secara ringkas. Seorang ‘alim Salafi, Sunni, tetapi
banyak orang yang menyanjung dan membuat kedustaan atas nama beliau.
Sedangkan beliau berlepas diri dari semua kebohongan itu. Wallahu a’lam
bishshawwab.
Kesimpulannya beliau adalah seorang ‘ulama besar. Apabila sekarang ini
banyak kaum muslimin menyanjung-nyanjungnya dan mencintainya, maka suatu
kewajaran. Bahkan suatu keharusan. Akan tetapi kalau meninggi-ninggikan
derajat beliau di atas Rasulullah , maka hal ini merupakan kekeliruan.
Karena Rasulullah adalah rasul yang paling mulia diantara para nabi dan
rasul. Derajatnya tidak akan terkalahkan disisi Allah oleh manusia manapun.
Adapun sebagian kaum muslimin yang menjadikan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani sebagai wasilah ( perantara ) dalam do’a mereka. Berkeyakinan bahwa do’a seseorang tidak akan dikabulkan oleh Allah, kecuali dengan perantaranya. Ini juga merupakan kesesatan. Menjadikan orang yang meningal sebagai perantara, maka tidak ada syari’atnya dan ini diharamkan. Apalagi kalau ada orang yang berdo’a kepada beliau. Ini adalah sebuah kesyirikan besar. Sebab do’a merupakan salah satu bentuk ibadah yang tidak diberikan kepada selain Allah. Allah melarang mahluknya berdo’a kepada selain Allah,

Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah.
Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya
Disamping ( menyembah ) Allah.
( QS. Al-Jin : 18 )

Jadi sudah menjadi keharusan bagi setiap muslim untuk memperlakukan para ‘ulama dengan sebaik mungkin, namun tetap dalam batas-batas yang telah ditetapkan syari’ah.
Akhirnya mudah-mudahan Allah senantiasa memberikan petunjuk kepada kita sehingga tidak tersesat dalam kehidupan yang penuh dengan fitnah ini.
Wallahu a’lam bishshawab.
Sumber:
Ø  Siyar A’lamin Nubala XX/442
Ø  Nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Yusuf bin Jarir Al Lakh-mi Asy
Syath-Nufi. Lahir di Kairo tahun 640 H, meninggal tahun 713 H. Dia dituduh
berdusta dan tidak bertemu dengan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani.
Ø  Seperti kisah Syeikh Abdul Qadir menghidupkan ayam yang telah mati,
dan sebagainya.
Ø  Nama lengkapnya ialah Ja’far bin Tsa’lab bin Ja’far bin Ali bin
Muthahhar bin Naufal Al Adfawi. Seoarang ‘ulama bermadzhab Syafi’i.
Dilahirkan pada pertengahan bulan Sya’ban tahun 685 H. Wafat tahun 748 H diKairo. Biografi beliau dimuat oleh Al Hafidz di dalam kitan Ad Durarul
Kaminah, biografi nomor 1452.
Ø  Dinukil dari kitab At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal.
509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar,Cet. II, 8 Dzulqa’dah 1415 H / 8 April 1995 M
Ø  At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 515.
Ø  At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 516.
Ø  Lihat kitab Al-Ghunyah I/83-94.
Ø  At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul
Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa’dah
1415 H / 8 April 1995 M.



 IMAM AN-NAWAWI
( 630H-676H)
Beliau adalah Yahya bin Syaraf bin Hasan bin Husain An-Nawawi Ad-Dimasyqiy, Abu Zakaria. Beliau dilahirkan pada bulan Muharram tahun 631 H di Nawa, sebuah kampung di daerah Dimasyq (Damascus) yang sekarang merupakan ibukota Suriah. Beliau dididik oleh ayah beliau yang terkenal dengan kesalehan dan ketakwaan. Beliau mulai belajar di katatib (tempat belajar baca tulis untuk anak-anak) dan hafal Al-Quran sebelum menginjak usia baligh.
Ketika berumur sepuluh tahun, Syaikh Yasin bin Yusuf Az-Zarkasyi melihatnya dipaksa bermain oleh teman-teman sebayanya, namun ia menghindar, menolak dan menangis karena paksaan tersebut. Syaikh ini berkata bahwa anak ini diharapkan akan menjadi orang paling pintar dan paling zuhud pada masanya dan bisa memberikan manfaat yang besar kepada umat Islam. Perhatian ayah dan guru beliaupun menjadi semakin besar.
An-Nawawi tinggal di Nawa hingga berusia 18 tahun. Kemudian pada tahun 649 H ia memulai rihlah thalabul ilmi-nya ke Dimasyq dengan menghadiri halaqah-halaqah ilmiah yang diadakan oleh para ulama kota tersebut. Ia tinggal di madrasah Ar-rawahiyyah di dekat Al-Jami’ Al-Umawiy. Jadilah thalabul ilmi sebagai kesibukannya yang utama. Disebutkan bahwa ia menghadiri dua belas halaqah dalam sehari. Ia rajin sekali dan menghafal banyak hal. Ia pun mengungguli teman-temannya yang lain. Ia berkata: “Dan aku menulis segala yang berhubungan dengannya, baik penjelasan kalimat yang sulit maupun pemberian harakat pada kata-kata. Dan Allah telah memberikan barakah dalam waktuku.” [Syadzaratudz Dzahab 5/355].
Diantara syaikh beliau: Abul Baqa’ An-Nablusiy, Abdul Aziz bin Muhammad Al-Ausiy, Abu Ishaq Al-Muradiy, Abul Faraj Ibnu Qudamah Al-Maqdisiy, Ishaq bin Ahmad Al-Maghribiy dan Ibnul Firkah. Dan diantara murid beliau: Ibnul ‘Aththar Asy-Syafi’iy, Abul Hajjaj Al-Mizziy, Ibnun Naqib Asy-Syafi’iy, Abul ‘Abbas Al-Isybiliy dan Ibnu ‘Abdil Hadi.
Pada tahun 651 H ia menunaikan ibadah haji bersama ayahnya, kemudian ia pergi ke Madinah dan menetap disana selama satu setengah bulan lalu kembali ke Dimasyq. Pada tahun 665 H ia mengajar di Darul Hadits Al-Asyrafiyyah (Dimasyq) dan menolak untuk mengambil gaji.
Beliau digelari Muhyiddin (yang menghidupkan agama) dan membenci gelar ini karena tawadhu’ beliau. Disamping itu, agama islam adalah agama yang hidup dan kokoh, tidak memerlukan orang yang menghidupkannya sehingga menjadi hujjah atas orang-orang yang meremehkannya atau meninggalkannya. Diriwayatkan bahwa beliau berkata: “Aku tidak akan memaafkan orang yang menggelariku Muhyiddin.”
Imam An-Nawawi adalah seorang yang zuhud, wara’ dan bertaqwa. Beliau sederhana, qana’ah dan berwibawa. Beliau menggunakan banyak waktu beliau dalam ketaatan. Sering tidak tidur malam untuk ibadah atau menulis. Beliau juga menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, termasuk kepada para penguasa, dengan cara yang telah digariskan Islam. Beliau menulis surat berisi nasehat untuk pemerintah dengan bahasa yang halus sekali. Suatu ketika beliau dipanggil oleh raja Azh-Zhahir Bebris untuk menandatangani sebuah fatwa. Datanglah beliau yang bertubuh kurus dan berpakaian sangat sederhana. Raja pun meremehkannya dan berkata: “Tandatanganilah fatwa ini!!” Beliau membacanya dan menolak untuk membubuhkan tanda tangan. Raja marah dan berkata: “Kenapa !?” Beliau menjawab: “Karena berisi kedhaliman yang nyata.” Raja semakin marah dan berkata: “Pecat ia dari semua jabatannya!” Para pembantu raja berkata: “Ia tidak punya jabatan sama sekali.” Raja ingin membunuhnya tapi Allah menghalanginya. Raja ditanya: “Kenapa tidak engkau bunuh dia padahal sudah bersikap demikian kepada Tuan?” Raj apun menjawab: “Demi Allah, aku sangat segan padanya.”
Imam Nawawi meninggalkan banyak sekali karya ilmiah yang terkenal. Jumlahnya sekitar empat puluh kitab, diantaranya:
  1. Dalam bidang hadits: Arba’in, Riyadhush Shalihin, Al-Minhaj (Syarah Shahih Muslim), At-Taqrib wat Taysir fi Ma’rifat Sunan Al-Basyirin Nadzir.
  2. Dalam bidang fiqih: Minhajuth Thalibin, Raudhatuth Thalibin, Al-Majmu’.
  3. Dalam bidang bahasa: Tahdzibul Asma’ wal Lughat.
  4. Dalam bidang akhlak: At-Tibyan fi Adab Hamalatil Qur’an, Bustanul Arifin, Al-Adzkar.
Kitab-kitab ini dikenal secara luas termasuk oleh orang awam dan memberikan manfaat yang besar sekali untuk umat. Ini semua tidak lain karena taufik dari Allah Ta’ala, kemudian keikhlasan dan kesungguhan beliau dalam berjuang.
Secara umum beliau termasuk salafi dan berpegang teguh pada manhaj ahlul hadits, tidak terjerumus dalam filsafat dan berusaha meneladani generasi awal umat dan menulis bantahan untuk ahlul bid’ah yang menyelisihi mereka. Namun beliau tidak ma’shum (terlepas dari kesalahan) dan jatuh dalam kesalahan yang banyak terjadi pada uluma-ulama di zaman beliau yaitu kesalahan dalam masalah sifat-sifat Allah Subhanah. Beliau kadang men-ta’wil dan kadang-kadang tafwidh. Orang yang memperhatikan kitab-kitab beliau akan mendapatkan bahwa beliau bukanlah muhaqqiq dalam bab ini, tidak seperti dalam cabang ilmu yang lain. Dalam bab ini beliau banyak mendasarkan pendapat beliau pada nukilan-nukilan dari para ulama tanpa mengomentarinya.
Adapun memvonis Imam Nawawi sebagai Asy’ari, itu tidak benar karena beliau banyak menyelisihi mereka (orang-orang Asy’ari) dalam masalah-masalah aqidah yang lain seperti ziyadatul iman dan khalqu af’alil ‘ibad. Karya-karya beliau tetap dianjurkan untuk dibaca dan dipelajari, dengan berhati-hati terhadap kesalahan-kesalahan yang ada. Tidak boleh bersikap seperti kaum Haddadiyyun yang membakar kitab-kitab karya beliau karena adanya beberapa kesalahan di dalamnya.
Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa kerajaan Saudi ditanya tentang aqidah beliau dan menjawab: “Lahu aghlaath fish shifat” (Beliau memiliki beberapa kesalahan dalam bab sifat-sifat Allah).
Imam Nawawi meninggal pada 24 Rajab 676 H -rahimahullah wa ghafara lahu
Sumber:
Lihat biografi beliau di Tadzkiratul Huffazh 4/1470, Thabaqat Asy-Syafi’iyyah Al-Kubra 8/395, dan Syadzaratudz Dzahab 5/354




IMAM AS-SUYUTHI
(849-911 H)
Nama lengkapnya adalah Abdurrahman bin Abi Bakar bin Muhammad bin Saabiquddien bin al-Fakhr Utsman bin Nashiruddien Muhammad bin Saifuddin Khadhari bin Najmuddien Abi ash-Shalaah Ayub ibn Nashiruddien Muhammad bin asy-Syaich Hammamuddien al-Hamman al-Khadlari al-Asyuuthi. Lahir ba’da Maghrib, hari Ahad malam, bulan Rajab tahun 849 Hijriyah, yakni enam tahun sebelum bapaknya wafat.
Asal Usul Beliau
Jalaluddien as-Suyuthi berasal dari lingkungan cendekiawan sejak kecilnya. Bapaknya berusaha mengarahkannya ke arah kelurusan dan keshalihan. Adalah beliau hafal al-Qur’an di usianya yang sangat dini dan selalu diikutkan bapaknya di berbagai majlis ilmu dan berbagai majlis qadhinya.
Dan bapaknya telah memintakan kepada Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani supaya mendo’akannya diberi berkah dan taufiq. Dan adalah bapaknya melihat dalam diri anaknya seperti yang didapati dalam diri Ibnu Hajar, hingga ketika beliau minum, sebagian diberikan kepada anaknya dan mendo’akannya agar ia seperti Ibnu Hajar, menjadi ulama yang trampil dan tokoh penghafal (hadits). Bapaknya wafat saat ia (imam Suyuthi) baru berumur lima tahun tujuh bulan. Tetapi Allah telah memeliharanya dengan taufiq dari-Nya dan mengasuhnya dengan asuhan-Nya. Ini terbukti dengan telah ditakdirkan Allah Ta’ala untuknya al-‘Allamah Kamaaluddien bin Humam al-Hanafi pengarang Fathul Qadir untuk menjadi guru asuhnya. Hingga hafal al-Qur’an dalam umur delapan tahun, kemudian menghafal kitab al-’Umdah lalu Minhajul Fiqhi dan Ushul, serta Alfiyah Ibnu Malik. Dan mulai menyibukkan diri dengan (menggeluti) ilmu pada tahun 864 H, yakni ketika berumur 15 tahun.
Menimba ilmu Fiqih dari Syaikh Siraajuddien al-Balqini. Bahkan mulazamah kepada beliau hingga wafatnya. Kemudian mulazamah kepada anak beliau, dan menyimak banyak pelajaran darinya seperti al-Haawi ash-Shaghir, al-Minhaaj, syarah al-Minhaaj dan ar-Raudhah. Belajar Faraidl dari syaikh Sihaabuddien Asy-Syaarmasaahi, dan mulazamah kepada asy-Syari al-Manaawi Abaaz Kuriya Yahya bin Muhammad, kakak dari Abdurrauf pensyarah al-Jami’ ash-Shaghir. Kemudian menimba ilmu bahasa Arab dan ilmu Hadits kepada Taqiyuddien asy-Syamini al-Hanafi (872 H). Lalu mulazamah kepada syaikh Muhyiddien Muhammad bin Sulaiman ar-Ruumi al-Hanafi selama 14 tahun. Dari beliau ia menimba ilmu tafsir, ilmu Ushul, ilmu bahasa Arab dan ilmu Ma’ani. Juga berguru kepada Jalaaluddien al-Mahilli (864 H) dan ‘Izzul Kinaani Ahmad bin Ibrahim al-Hanbali. Dan membaca shahih Muslim, asy-Syifa, Alfiyah Ibnu malik dan penjelasaannya pada Syamsu as-Sairaami.
Imam Suyuthi tidak mau meninggalkan satu cabang ilmu pun kecuali ia berusaha untuk mempelajarinya, seperti ilmu hitung dan ilmu faraidl dari Majid bin as-Sibaa’ dan Abudl Aziz al-Waqaai, serta ilmu kedokteran kepada Muhammad bin Ibrahim ad-Diwwani ar-Ruumi. Hal ini sesuai dan didukung oleh keadaan waktu itu di mana dia dapat menimba ilmu dari banyak syaikh. Ia tidak pernah merasa cukup dengan ilmu yang telah dimilikinya, baik ilmu bahasa maupun ilmu dien, demikian pula ia tidak merasa cukup dengan para ulama yang telah ia temui.
Bahkan ia bepergian jauh sekedar untuk mencari ilmu dan riwayat hadits, hingga ke negeri Maghribi (Tanjung Harapan, sebelah ujuh barat pulau Afrika), ke Yaman, India, Syam Mahallah (di Mesir Barat), Diimath (sebuah kota di tepi sungai Nil, Mesir), dan Fayyum (Mesir) serta negeri-negeri Islam lainnya. Telah menunaikan ibadah Hajji dan telah minum air Zam-zam dengan harapan supaya dapat seperti Syaich al-Balqini dalam menguasi ilmu Fiqih serta dapat seperti Ibnu Hajar dalam menguasai ilmu Hadits.
Demikianlah imam yang mulia ini, mengadakan perjalanan yang tidak tanggung-tanggung dengan segala kesusahannya hanya untuk dapat menimba ilmu. Banyak sekali gurunya. Bahkan disebutkan oleh syaikh Abdul Wahhab asy-Sya’rani dalam kitab Thabaqat bahwa gurunya lebih dari 600-an orang.
Sesuai dengan banyaknya syaikh dan jauhnya perjalanannya dalam menimba ilmu, hal itu didukung pula oleh kemampuannya untuk semaksimal mungkin dalam memanfaatkan perpustakaan Madrasah Mahmudiyah. Berkata al-Maqrizi, bahwa di dalam perpustakaan ini terdapat segala jenis kitab-kitab Islam, dan madrasah ini merupakan sebaik-baik madrasah yang ada, yang dinisbatkan kepada Mahmud bin al-Astadaar, yang berdirinya pada tahun 897 H. Dan kitab-kitab yang ada tersebut merupakan kitab yang paling lengkap dari yang ada sekarang di Qahirah (Cairo), yang merupakan koleksi dari Burhan Ibn Jama’ah dan kemudian dibeli oleh Mahmud al-Astadaar dengan uang warisannya setelah ia wafat dan kemudian ia waqafkan.
Hingga matanglah kepribadian Suyuthi, dan sempurnalah pembentukan ilmunya pada taraf syarat mampu untuk berijtihad. Beliau seorang yang mudah mengerti, kuat hafalannya, dianugerahi Allah dengan otak yang cerdas, disamping itu beliau adalah seorang yang ‘abid (ahli ibadah), zuhud, tawadlu’. Tidak mau menerima hadiah raja. Pernah ia diberi hadiah raja Ghuuri seorang budak perempuan dan uang banyak sebesar seribu dinar. Maka dikembalikannya uang itu sedangkan budak perempuan itu dimerdekakannya dan menjadikannya sebagai pelayan di hujrah Nabawi. Lalu ia berkata kepada sang penguasa itu, “Jangan berusaha memalingkan hanya dengan memberi hadiah semacam itu karena Allah telah menjadikan aku merasa tidak butuh dari hal-hal semacam itu.”
Oleh karena itu beliau rahimahullah dikenal sebagai seorang yang berani tapi beradab, semangat dalam menegakkan hukum-hukum syari’at dan mengamalkannya tanpa memihak kepada seorang pun. Tidak takut dalam kebenaran celaan orang yang mencela. Ia telah diminta untuk memberikan fatwa serta urusan-urusan yang bersangkutan dengan kehakiman, maka beliau tetap berusaha untuk adil dan menerapkan hukum-hukum dien tanpa memperdulikan kemarahan Umara’ maupun penguasa. Bahkan jika ia melihat ada Qadhi (hakim) yang menta’wilkan hukum sesuai dengan kehendak penguasa, bertujuan menjilat mereka maka beliau menentangnya dan menyatakan pengingkarannya serta cuci tangan darinya. Menerangkan kesalahannya, dan meluruskannya, seperti yang dikemukakannya dalam kitab “al-Istinshaar bil Wahid al-Qahhar.” Beliau terlalu disibukkan dengan memberi pelajaran dan berfatwa sampai umur 40 tahun, kemudian beliau lebih mengkhususkan untuk beribadah dan mengarang kitab. Dan karangan imam Suyuthi rahimahullah lebih dari 500 buah karangan. Berkata imam Suyuthi, “Kalau seandainya aku mau maka aku mampu untuk menyusun kitab yang membahas setiap masalah dengan segala teori dan dalil-dalil yang kami nukil, qiyasnya, keterangannya, bantahan-bantahannya, jawaban-jawabannya, muwazanahnya antara perselisihan berbagai madzhab tentang masalah itu, dengan fadhilah Allah, tidak dengan daya dan kemampuanku. Karena sesungguhnya tidak ada kekuatan kecuali dari Allah.”
Kitab-Kitabnya
Adapun kitab-kitab yang disusun oleh imam Suyuthi rahimahullah antara lain sebagai berikut:
  1. Al-Itqaan fi ‘Uluumil Qur’an
  2. Ad-Durrul Mantsuur fit Tafsiril Ma’tsuur
  3. Tarjumaan al-Qur’an fit Tafsir
  4. Israaru at-Tanziil atau dinamakan pula dengan Qathful Azhaar fi Kasyfil Asraar
  5. Lubaab an-Nuqul fi Asbaabi an-Nuzuul
  6. Mifhamaat al-Aqraan fi Mubhamaat al-Qur’an
  7. Al-Muhadzdzab fiima waqa’a fil Qur’an minal Mu’arrab
  8. Al-Ikllil fi istimbaath at-Tanziil
  9. Takmilatu Tafsiir asy-Sayich Jalaaluddien al-Mahilli
  10. At-Tahiir fi ‘Uluumi Tafsir
  11. Haasyiyah ‘ala Tafsiri al-Baidlawi
  12. Tanaasuq ad-Duraru fi Tanaasub as-Suwari
  13. Maraashid al-Mathaali fi Tanaasub al-Maqaathi’ wal Mathaali’
  14. Majma’u al-Bahrain wa Mathaali’u al-Badrain fi at-Tafsir.
  15. Mafaatihu al Ghaib fi at-Tafsiir
  16. Al-Azhaar al-Faaihah ‘alal Fatihah
  17. Syarh al-Isti’adzah wal Kasmalah
  18. Al-Kalaam ‘ala Awalil Fathi
  19. Syarh asy-Syathibiyah
  20. Al-Alfiyah fil Qara’at al ‘asyri
  21. Khimaayal az-Zuhri fi Fadla’il as-Suwari
  22. Fathul Jalil li ‘Abdi Adz Dzalil fil Anwa’il Badi’ah al- Mustakhrijah min Qaulihi Ta’ala: Allaahu Waliyyulladziina aamanu
  23. al-Qaul al-Fashih Fi Ta’yiini adz-Dzabiih
  24. al-Yadul Bustha fi as-Shalaatil Wustha
  25. Mu’tarakul Aqraan Fi musykilaatil Qur’an
Semua itu judul-judul buku yang berkenaan dengan Tafsir, adapun yang berkenaan dengan ilmu hadits, antara lain adalah sebagai berikut:
1.      Ainul Ishaabah Fi Ma’rifati ash-Shahaabah
2.      Durru ash-Shahaabah Fi man Dakhala Mishra Minash Shahaabah
3.      Husnul Muhaadlarah
4.      Riihu an-Nisriin Fi man ‘Aasya Minash Shahaabah Mi ata Wa ‘isyriin
5.      Is’aaful Mubtha’ bi Rijaalil Muwaththa’
6.      Kasyfu at-Talbiis ‘an Qalbi Ahli Tadliis
7.      Taqriibul Ghariib
8.      al-Madraj Ila al-Mudraj
9.      Tadzkirah al-Mu’tasi Min Hadits Man haddatsa wa nasiy
10.  Asmaa`ul Mudallisiin
11.  al-Luma’ Fi Asmaa`i Man Wadla’
12.  ar-Raudlul Mukallal Wa Waradul Mu’allal fi al-mushthalah
Wafatnya
Imam as-Suyuthi rahimahullah wafat pada hari Jum’at, malam tanggal 19 Jumadal Ula tahun 911 H. Sebelumnya beliau menderita sakit selama tujuh hari dan akhirnya wafat dalam umur 61 tahun. Dikuburkan di pemakaman Qaushuun atau Qaisun di Cairo.
Sumber:
Kitab adriib ar-Raawi Fi Syarh Taqriib an-Nawawy karya as-Suyuthy


















IBNU HAJAR AL ‘ASQOLANI
(773-852H)
Nama dan Nasabnya
Nama sebenarnya Syihabuddin Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Hajar, al Kinani, al ‘Asqalani, asy Syafi’i, al Mishri. Kemudian dikenal dengan nama Ibnu Hajar, dan gelarnya “al Hafizh”. Adapun penyebutan ‘Asqalani adalah nisbat kepada ‘Asqalan’, sebuah kota yang masuk dalam wilayah Palestina, dekat Ghuzzah.
Kelahirannya
Beliau lahir di Mesir pada bulan Sya’ban 773 H, namun tanggal kelahirannya diperselisihkan. Beliau tumbuh di sana dan termasuk anak yatim piatu, karena ibunya wafat ketika beliau masih bayi, kemudian bapaknya menyusul wafat ketika beliau masih kanak-kanak berumur empat tahun.
Ketika wafat, bapaknya berwasiat kepada dua orang ‘alim untuk mengasuh Ibnu Hajar yang masih bocah itu. Dua orang itu ialah Zakiyuddin al Kharrubi dan Syamsuddin Ibnul Qaththan al Mishri.
Perjalanan Ilmiah Ibnu Hajar
Perjalanan hidup al Hafizh sangatlah berkesan. Meski yatim piatu, semenjak kecil beliau memiliki semangat yang tinggi untuk belajar. Beliau masuk kuttab (semacam Taman Pendidikan al Qur’an) setelah genap berusia lima tahun. Hafal al Qur’an ketika genap berusia sembilan tahun. Di samping itu, pada masa kecilnya, beliau menghafal kitab-kitab ilmu yang ringkas, sepeti al ‘Umdah, al Hawi ash Shagir, Mukhtashar Ibnu Hajib dan Milhatul I’rab.
Semangat dalam menggali ilmu, beliau tunjukkan dengan tidak mencukupkan mencari ilmu di Mesir saja, tetapi beliau melakukan rihlah (perjalanan) ke banyak negeri. Semua itu dikunjungi untuk menimba ilmu. Negeri-negeri yang pernah beliau singgahi dan tinggal disana, di antaranya:
1.      Dua tanah haram, yaitu Makkah dan Madinah. Beliau tinggal di Makkah al Mukarramah dan shalat Tarawih di Masjidil Haram pada tahun 785 H. Yaitu pada umur 12 tahun. Beliau mendengarkan Shahih Bukhari di Makkah dari Syaikh al Muhaddits (ahli hadits) ‘Afifuddin an-Naisaburi (an-Nasyawari) kemudian al-Makki Rahimahullah. Dan Ibnu Hajar berulang kali pergi ke Makkah untuk melakukah haji dan umrah.
2.      Dimasyq (Damaskus). Di negeri ini, beliau bertemu dengan murid-murid ahli sejarah dari kota Syam, Ibu ‘Asakir Rahimahullah. Dan beliau menimba ilmu dari Ibnu Mulaqqin dan al Bulqini.
3.      Baitul Maqdis, dan banyak kota-kota di Palestina, seperti Nablus, Khalil, Ramlah dan Ghuzzah. Beliau bertemu dengan para ulama di tempat-tempat tersebut dan mengambil manfaat.
4.      Shana’ dan beberapa kota di Yaman dan menimba ilmu dari mereka.
Semua ini, dilakukan oleh al Hafizh untuk menimba ilmu, dan mengambil ilmu langsung dari ulama-ulama besar. Dari sini kita bisa mengerti, bahwa guru-guru al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqlani sangat banyak, dan merupakan ulama-ulama yang masyhur. Bisa dicatat, seperti: ‘Afifuddin an-Naisaburi (an-Nasyawari) kemudian al-Makki (wafat 790 H), Muhammad bin ‘Abdullah bin Zhahirah al Makki (wafat 717 H), Abul Hasan al Haitsami (wafat 807 H), Ibnul Mulaqqin (wafat 804 H), Sirajuddin al Bulqini Rahimahullah (wafat 805 H) dan beliaulah yang pertama kali mengizinkan al Hafizh mengajar dan berfatwa. Kemudian juga, Abul-Fadhl al ‘Iraqi (wafat 806 H) –beliaulah yang menjuluki Ibnu Hajar dengan sebutan al Hafizh, mengagungkannya dan mempersaksikan bahwa Ibnu Hajar adalah muridnya yang paling pandai dalam bidang hadits-, ‘Abdurrahim bin Razin Rahimahullah –dari beliau ini al Hafizh mendengarkan shahih al Bukhari-, al ‘Izz bin Jama’ah Rahimahullah, dan beliau banyak menimba ilmu darinya. Tercatat juga al Hummam al Khawarizmi Rahimahullah. Dalam mengambil ilmu-ilmu bahasa arab, al Hafizh belajar kepada al Fairuz Abadi Rahimahullah, penyusun kitab al Qamus (al Muhith-red), juga kepada Ahmad bin Abdurrahman Rahimahullah. Untuk masalah Qira’atus-sab’ (tujuh macam bacaan al Qur’an), beliau belajar kepada al Burhan at-Tanukhi Rahimahullah, dan lain-lain, yang jumlahnya mencapai 500 guru dalam berbagai cabang ilmu, khususnya fiqih dan hadits.
Jadi, al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani mengambil ilmu dari para imam pada zamannya di kota Mesir, dan melakukakan rihlah (perjalanan) ke negeri-negeri lain untuk menimba ilmu, sebagaimana kebiasaan para ahli hadits.
Layaknya sebagai seorang ‘alim yang luas ilmunya, maka beliau juga kedatangan para thalibul ‘ilmi (para penuntut ilmu, murid-red) dari berbagai penjuru yang ingin mengambil ilmu dari beliau, sehingga banyak sekali murid beliau. Bahkan tokoh-tokoh ulama dari berbagai madzhab adalah murid-murid beliau. Yang termasyhur misalnya, Imam ash-shakhawi (wafat 902 H), yang merupakan murid khusus al Hafizh dan penyebar ilmunya, kemudian al Biqa’i (wafat 885 H), Zakaria al-Anshari (wafat 926 H), Ibnu Qadhi Syuhbah (wafat 874 H), Ibnu Taghri Bardi (wafat 874 H), Ibnu Fahd al-Makki (wafat 871 H), dan masih banyak lagi yang lainnya.
Karya-Karyanya
Kepakaran al Hafizh Ibnu Hajar sangat terbukti. Beliau mulai menulis pada usia 23 tahun, dan terus berlanjut sampai mendekti ajalnya. Beliau mendapatkan karunia Allah Ta’ala di dalam karya-karyanya, yaitu keistimewaan-keistimewaan yang jarang didapati pada orang lain. Oleh karena itu, karya-karya beliau banyak diterima umat islam dan tersebar luas, semenjak beliau masih hidup. Para raja dan amir biasa saling memberikan hadiah dengan kitab-kitab Ibnu hajar Rahimahullah. Bahkan sampai sekarang, kita dapati banyak peneliti dan penulis bersandar pada karya-karya beliau Rahimahullah.
Di antara karya beliau yang terkenal ialah: Fathul Baari Syarh Shahih Bukhari, Bulughul Marom min Adillatil Ahkam, al Ishabah fi Tamyizish Shahabah, Tahdzibut Tahdzib, ad Durarul Kaminah, Taghliqut Ta’liq, Inbaul Ghumr bi Anbail Umr dan lain-lain.
Bahkan menurut muridnya, yaitu Imam asy-Syakhawi, karya beliau mencapai lebih dari 270 kitab. Sebagian peneliti pada zaman ini menghitungnya, dan mendapatkan sampai 282 kitab. Kebanyakan berkaitan dengan pembahasan hadits, secara riwayat dan dirayat (kajian).
Mengemban Tugas Sebagai Hakim
Beliau terkenal memiliki sifat tawadhu’, hilm (tahan emosi), sabar, dan agung. Juga dikenal banyak beribadah, shalat malam, puasa sunnah dan lainnya. Selain itu, beliau juga dikenal dengan sifat wara’ (kehati-hatian), dermawan, suka mengalah dan memiliki adab yang baik kepada para ulama pada zaman dahulu dan yang kemudian, serta terhadap orang-orang yang bergaul dengan beliau, baik tua maupun muda. Dengan sifat-sifat yang beliau miliki, tak heran jika perjalanan hidupnya beliau ditawari untuk menjabat sebagai hakim.
Sebagai contohya, ada seorang hakim yang bernama Ashadr al Munawi, menawarkan kepada al Hafizh untuk menjadi wakilnya, namu beliau menolaknya, bahkan bertekad untuk tidak menjabat di kehakiman. Kemudian, Sulthan al Muayyad Rahimahullah menyerahkan kehakiman dalam perkara yang khusus kepada Ibnu Hajar Rahimahullah. Demikian juga hakim Jalaluddin al Bulqani Rahimahullah mendesaknya agar mau menjadi wakilnya. Sulthan juga menawarkan kepada beliau untuk memangku jabatan Hakim Agung di negeri Mesir pada tahun 827 H. Waktu itu beliau menerima, tetapi pada akhirnya menyesalinya, karena para pejabat negara tidak mau membedakan antara orang shalih dengan lainnya. Para pejabat negara juga suka mengecam apabila keinginan mereka ditolak, walaupun menyelisihi kebenaran. Bahkan mereka memusuhi orang karena itu. Maka seorang hakim harus berbasa-basi dengan banyak fihak sehingga sangat menyulitkan untuk menegakkan keadilan.
Setelah satu tahun, yaitu tanggal 7 atau 8 Dzulqa’idah 828 H, akhirnya beliau mengundurkan diri.
Pada tahun ini pula, Sulthan memintanya lagi dengan sangat, agar beliau menerima jabatan sebagai hakim kembali. Sehingga al Hafizh memandang, jika hal tersebut wajib bagi beliau, yang kemudian beliau menerima jabatan tersebut tanggal 2 rajab. Masyarakatpun sangat bergembira, karena memang mereka sangat mencintai beliau. Kekuasaan beliau pun ditambah, yaitu diserahkannya kehakiman kota Syam kepada beliau pada tahun 833 H.
Jabatan sebagai hakim, beliau jalani pasang surut. Terkadang beliau memangku jabatan hakim itu, dan terkadang meninggalkannya. Ini berulang sampai tujuh kali. Penyebabnya, karena banyaknya fitnah, keributan, fanatisme dan hawa nafsu.
Jika dihitung, total jabatan kehakiman beliau mencapai 21 tahun. Semenjak menjabat hakim Agung. Terakhir kali beliau memegang jabatan hakim, yaitu pada tanggal 8 Rabi’uts Tsani 852 H, tahun beliau wafat.

Selain kehakiman, beliau juga memilki tugas-tugas:
1.      Berkhutbah di Masjid Jami’ al Azhar.
2.      Berkhutbah di Masjid Jami’ ‘Amr bin al Ash di Kairo.
3.      Jabatan memberi fatwa di Gedung Pengadilan.
Di tengah-tengah mengemban tugasnya, beliau tetap tekun dalam samudra ilmu, seperti mengkaji dan meneliti hadits-hadits, membacanya, membacakan kepada umat, menyusun kitab-kitab, mengajar tafsir, hadits, fiqih dan ceramah di berbagai tempat, juga mendiktekan dengan hafalannya. Beliau mengajar sampai 20 madrasah. Banyak orang-orang utama dan tokoh-tokoh ulama yang mendatanginya dan mengambil ilmu darinya.
Kedudukannya
Ibnu Hajar Rahimahullah menjadi salah satu ulama kebanggaan umat, salah satu tokoh dari kalangan ulama, salah satu pemimpin ilmu. Allah Ta’ala memberikan manfaat dengan ilmu yang beliau miliki, sehingga lahirlah murid-murid besar dan disusunnya kitab-kitab.
Seandainya kitab beliau hanya Fathul Bari, cukuplah untuk meninggikan dan menunjukkan keagungan kedudukan beliau. Karena kitab ini benar-benar merupakan kamus Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaii wasallam. Sedangkan karya beliau berjumlah lebih dari 150 kitab.
Syaikh al Albani Rahimahullah mengatakan, Adalah merupakan kedzaliman jika mengatakan mereka (yaitu an-Nawawi dan Ibnu Hajar al ‘Asqalani) dan orang-orang semacam mereka termasuk ke dalam golongan ahli bid’ah. Menurut Syaikh al Albani, meskipun keduanya beraqidah Asy’ariyyah, tetapi mereka tidak sengaja menyelisihi al Kitab dan as Sunnah. Anggapan mereka, aqidah Asy’ariyyah yang mereka warisi itu adalah dua hal: Pertama, bahwa Imam al Asy’ari mengatakannya, padahal beliau tidak mengatakannya, kecuali pada masa sebelumnya, (lalu beliau tinggalkan dan menuju aqidah Salaf,). Kedua, mereka menyangka sebagai kebenaran, padahal tidak.
Wafatnya
Ibnu Hajar wafat pada tanggal 28 Dzulhijjah 852 H di Mesir, setelah kehidupannya dipenuhi dengan ilmu yang bermanfaat dan amal shalih, menurut sangkaan kami, dan kami tidak memuji di hadapan Allah terhadap seorangpun. Beliau dikuburkan di Qarafah ash-Shugra. Semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat yang luas, memaafkan dan mengampuninya dengan karunia dan kemurahanNya.
Kitab al Ajwibah al Mufidah min As’ilah al manahij al Jadidah, Kitab Fathul Bari ,Abdul ‘Aziz bin Baaz.





























Ibnu Hajar Al Haitami

 (909–974 H)


Nama lengkap beliau adalah Syihabuddin Ahmad bin Hajar al Haitami, Lahir di Mesir tahun 909 H. dan wafat di Mekkah tahun 974H. Pada waktu kecil beliau diasuh oleh dua orang Syeikh, yaitu Syeikh.Syihabuddin Abul Hamail dan Syeikh Syamsuddin  as Syanawi. Pada usia 14 tahun beliau dipindahkan belajar masuk Jami’ Al Azhar. Pada Unirnersitas Al Azhar beliau belajar kepada Syeikhul Islam Zakariya al Anshari dan lain-lain.
Kitab.kitab karangan beliau banyak sekali, diaantaranya:
1.      Kitab Tuhfatul Muhtaj al Syarhil Minhaj (10 jilid besar), sebuah kitab fiqih dalam Madzhab Syafi’i yang sampai saat ini dipakai dalam sekolah-sekolah Tinggi Islam di seluruh dunia, khususnya di Indonesia. Kitab ini setaraf dengan kitab Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj (8 jilid besar) karangan Imam Ramli (wafat 1004 H). Kedua dua kitab ini adalah tiang tengah dari Madzhab Syafi’i, tempat kembali bagi Ulama-ulama Syafi’iyah dalam masalah-masalah agama di Indonesia pada waktu ini
2.      Kitab fiqih Fathul Jawad.
3.      Kitab fiqih al Imdad
4.      Kitab fiqih al Fatawi.
5.      Kitab fiqih al ‘Ubad.
6.      Kitab Fatawi al Haditsiyah.
7.      itab Az Zawajir, frgtirafil Kabaair.
8.      As Syawa’iqul Muhriqah Firradi al az Zindiqah.
9.      Dan banyak lagi yang lainnya.
Perlu drperingatkan kepada pembaca bahwa dalam lingkungan Ulama-ulama Syafi’iyah, terkenal dua orang Ibnu Hajar, yaitu :
a.       Ibnu Hajar al ‘Asqalani (wafat 852 H.) pengarang kitab Fathul Bari a’l Syarhil Bukhari dan kitab hadits Bulugul Maram dll.
b.      Ibnu Hajar al Haitami (wafat 974H.), pengarang kitab Tuhfah yang kita bicarakan sekarang ini.
Tetapi yang sangat terkemuka di bidang fikih di antara dua orang Ulama Ibnu Hajar ini, adalah Ibnu Hajar al Haitami karena Ibnu Hajar al ‘Asqalani lebih banyak kesibukannya dalam ilmu hadits daripada ilmu fiqih.
Sumber:
Sejarah dan Keagungan Madzab Syafi’i, karangan KH. Siradjuddin Abbas, Pustaka Tarbiyah, 1994.






























IBNU KATSIR
(701-774H)
Nama lengkapnya adalah Abul Fida’, Imaduddin Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurasyi al-Bushrawi ad-Dimasyqi, lebih dikenal dengan nama Ibnu Katsir. Beliau lahir pada tahun 701 H di sebuah desa yang menjadi bagian dari kota Bashra di negeri Syam. Pada usia 4 tahun, ayah beliau meninggal sehingga kemudian Ibnu Katsir diasuh oleh pamannya. Pada tahun 706 H, beliau pindah dan menetap di kota Damaskus.
Riwayat Pendidikan
Ibn Katsir tumbuh besar di kota Damaskus. Di sana, beliau banyak menimba ilmu dari para ulama di kota tersebut, salah satunya adalah Syaikh Burhanuddin Ibrahim al-Fazari. Beliau juga menimba ilmu dari Isa bin Muth’im, Ibn Asyakir, Ibn Syairazi, Ishaq bin Yahya bin al-Amidi, Ibn Zarrad, al-Hafizh adz-Dzahabi serta Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Selain itu, beliau juga belajar kepada Syaikh Jamaluddin Yusuf bin Zaki al-Mizzi, salah seorang ahli hadits di Syam. Syaikh al-Mizzi ini kemudian menikahkan Ibn Katsir dengan putrinya.
Selain Damaskus, beliau juga belajar di Mesir dan mendapat ijazah dari para ulama di sana.
Prestasi Keilmuan
Berkat kegigihan belajarnya, akhirnya beliau menjadi ahli tafsir ternama, ahli hadits, sejarawan serta ahli fiqih besar abad ke-8 H. Kitab beliau dalam bidang tafsir yaitu Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim menjadi kitab tafsir terbesar dan tershahih hingga saat ini, di samping kitab tafsir Muhammad bin Jarir ath-Thabari.
Para ulama mengatakan bahwa tafsir Ibnu Katsir adalah sebaik-baik tafsir yang ada di zaman ini, karena ia memiliki berbagai keistimewaan. Keistimewaan yang terpenting adalah menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an (ayat dengan ayat yang lain), menafsirkan al-Qur’an dengan as-Sunnah (Hadits), kemudian dengan perkataan para salafush shalih (pendahulu kita yang sholih, yakni para shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in), kemudian dengan kaidah-kaidah bahasa Arab.
Karya Ibnu Katsir
Selain Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, beliau juga menulis kitab-kitab lain yang sangat berkualitas dan menjadi rujukan bagi generasi sesudahnya, di antaranya adalah al-Bidayah Wa an-Nihayah yang berisi kisah para nabi dan umat-umat terdahulu, Jami’ Al Masanid yang berisi kumpulan hadits, Ikhtishar ‘Ulum al-Hadits tentang ilmu hadits, Risalah Fi al-Jihad tentang jihad dan masih banyak lagi.
Kesaksian Para Ulama
Kealiman dan keshalihan sosok Ibnu Katsir telah diakui para ulama di zamannya mau pun ulama sesudahnya. Adz-Dzahabi berkata bahwa Ibnu Katsir adalah seorang Mufti (pemberi fatwa), Muhaddits (ahli hadits), ilmuan, ahli fiqih, ahli tafsir dan beliau mempunyai karangan yang banyak dan bermanfa’at.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata bahwa beliau adalah seorang yang disibukkan dengan hadits, menelaah matan-matan dan rijal-rijal (perawinya), ingatannya sangat kuat, pandai membahas, kehidupannya dipenuhi dengan menulis kitab, dan setelah wafatnya manusia masih dapat mengambil manfa’at yang sangat banyak dari karya-karyanya.
Salah seorang muridnya, Syihabuddin bin Hajji berkata, “Beliau adalah seorang yang plaing kuat hafalannya yang pernah aku temui tentang matan (isi) hadits, dan paling mengetahui cacat hadits serta keadaan para perawinya. Para sahahabat dan gurunya pun mengakui hal itu. Ketika bergaul dengannya, aku selalu mendapat manfaat (kebaikan) darinya.
Wafatnya
Ibnu Katsir meninggal dunia pada tahun 774 H di Damaskus dan dikuburkan bersebelahan dengan makam gurunya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Sumber dari Tafsir Quran Ibnu Katsir
SYEIKH SHIHABUDIN AL-RAMLI
(Wafat 757H)

Syeikh Shihabbuddin dilahirkan di Mesir pada masa kekuasaan Raja Al-Malik al-Dhohir Abi Sa'id. Ia terkenal dengan sebutan "al-Ramli", nisbat kepada desa Rimal, sebuah distrik di Kuwaisina, Manufiah. Ali Mubarak mengatakan bahwa Rimal merupakan kampung kecil, bagian dari Dimyat yang dekat dengan Maniah al-Athor ke arah masjid al-Hadhor.

Perjalanan ke Hijaz
Ketika berumur 16 tahun beliau pergi ke Hijaz dalam bagian rombongan yang pergi ke Madinah atas perintah Sultan al-Asraf Qoitbay untuk merenovasi bangunan Masjid Nabawi. Pada tahun 886 H terjadi petir besar yang menyambar Masjid Nabawi, sehingga terbakar menara yang berada di atas persemayaman Nabi. Atap masjidpun semuanya terbakar, begitu juga mimbar, tembok, tiang dan pintu. Hampir tidak ada yang selamat selain Qubah as-Syarifah. Tatkala Sultan Qoitbay mendengar kabar tersebut, menangislah beliau dan menangis pula orang-orang yang ada di sekitar beliau.

Rombongan yang dipimpin oleh Syamsudin Muhammad bin Zaman menyertakan beberapa tenaga bangunan, tukang kayu, tukang batu marmer dan lain-lain. Dalam cerita ini, belum jelas apakah Syekh Syihabudin termasuk dalam kelompok tenaga bangunan, tukang kayu atau yang lainnya. Menurut sebagian riwayat beliau tidak termasuk dalam kelompok tenaga bangunan, karena dalam biografinya disebutkan bahwa beliau belajar di al-Azhar kemudian menghapalkan Al-quran, hadist, dan fiqih empat madzhab.

Imam Syaroni dalam Thabaqah-nya mengatakan : “Beliau adalah Imam yang shalih, penutup ahli tahqiq di Mesir, Hijaz dan Syam. Barangkali kepergiannya bersama utusan renovasi dan bangunan merupakan bentuk kesusahan beliau tatkala mendengar Masjid Nabawi terbakar. Beliau yakin bahwa ruangan al-Nabawiyah akan selamanya selamat tidak terkena malapetaka. Beliau tetap tinggal di Hijaz, tidak pulang bersama utusan pembaharu masjid, untuk menimba ilmu dan belajar fiqih pada ulama-ulama Hijaz.

Kembali Ke Mesir
Setelah beberapa saat tinggal di Hijaz dan sebelum kembali ke Mesir beliau pergi ke Syam dan menetap beberapa waktu untuk belajar pada pemuka agama, ahli fatwa dan ulama-ulama yang memberi kontribusi dalam pengetahuan beliau. Ketika kembali ke Kairo pada masa kekuasaan Sultan Qonshuh al-Ghouri, ketenarannya telah menyebar ke semua penjuru khususnya ulama-ulama fiqih madzhab Syafii. Hal ini merupakan sebab mengapa Sultan al-Ghouri menugaskan beliau mengajar di Madrasah al-Nasiriyah di Qorofah.

Madrasah Nasiriyah terletak di dekat Qubah Imam Syafii. Madrasah ini dibangun oleh Sultan Malik al-Nasir Sholahuddin al-Ayyubi dan dikhususkan untuk belajar fiqih madzhab Imam syafii. Sultan Malik juga menyediakan kepada para pengajar 40 dinar perbulan dan roti sebanyak 60 kantung perhari. Beliau juga menetapkan pengajar bantu dan para pelajar. Sultan Shalahuddin juga mewakafkan kamar mandi besar (Hammam) di sebelah madrasah, toko roti dan toko-toko di luarnya. Al-Maqrizi berkata: "Pengajaran di Madrasah al-Nasiriyah diurus oleh para pembesar, seperti Qadli al-Qudlat Taqiyuddin Muhammad bin Rozin al-Hamawi, juga Ibnu Daqiq al-Id, begitu juga Burhanudin al-Hadr al-Sanjari.

Keutamaan Syeikh Shihabudin
Tentang biografi Syekh Shihabbuddin Imam Sya'roni bercerita : "Syekh Shihabbuddin merupakan orang yang wara', zuhud, alim, bagus keyakinannya, lebih-lebih di hadapan orang sufi. Beliau selalu menjawab melayani dengan santun perkataan mereka. Syekh Romli adalah imam dalam ilmu syara". Imam Sya'roni –sang sufi- merupakan murid yang paling beliau cintai. Dalam hal ini Syekh Sya'roni sendiri berkata : "Syekh Shihabuddin sangat mencintaiku sebagaimana kecintaan tuan pada sahayanya.

Tentang keutamaan Syekh Shihabbuddin dan keilmuannya Imam Sya'roni lebih jauh berkata : "Hampir seluruh ulama madzhab Syafi'i di Mesir adalah muridnya. Tidak ditemukan seorang alim bermadzhab Syafi'i kecuali dia adalah murid Syekh Shihabbuddin atau cucu murid. Semua permasalahan dari seluruh penjuru daerah dikembalikan pada beliau. Ketergantungan masyarakat pada petuah beliau melebihi ketergantungan mereka terhadap para gurunya.
Tidak diragukan lagi Syekh Shihabbuddin mempunyai posisi keilmuan yang tinggi pada masanya, yaitu tahun 8 H, sampai-sampai Syekh Zakaria al-Anshori memberi izin beliau untuk memperbaiki karangan-karangannya, baik semasa hidupnya atau sesudah mati. Ini adalah hal yang luar biasa sebab Syekh Zakaria tidak pernah memberikan izin dalam masalah ini pada siapapun selain beliau. Syekh Shihabbuddin turut memperbaiki beberapa tema atau masalah dalam kitab Syarh al-Bahjah-nya Syekh Zakaria dan Syarh al-Roudl semasa hidupnya. Beliau juga mengarang beberapa kitab yang berharga seperti kitab Syarh al-Zubad dalam ilmu fiqih yang merupakan kitab besar, yang di dalamnya berisi pentarjihan, perdebatan, dan penyeleksian beliau yang telah diteliti oleh Syekh Nuruddin al- Tanuta'i, sebagaimana Syekh Syamsuddin al-Khotib mengumpulkan fatwa-fatwanya sehingga menjadi kitab yang besar dan berjilid-jilid.Meskipun beliau telah mencapai pusat keilmuan, sastra, dan materi, namun beliau merupakan orang yang rendah hati.

Disebutkan dalam Thabaqah al-Kubra; "Beliau melayani diri sendiri dan tidak memperkenankan seseorang membelikan kebutuhannya dari pasar sampai beliau berusia lanjut dan lemah fisik". Beliau juga termasuk orang yang sangat dihormati dari seluruh tingkatan, khususnya tingkatan para wali, orang-orang jadzab, dan sufi seperti Syekh Nuruddin al-Musrifi, dan Syekh Ali al-Khowwash.

Syeikh al- Ramli Sang pendidik
Berjibunnya ahli fikih, ulama, dan pelajar yang hampir tidak pernah meninggalkan beliau baik siang maupun malam, semua itu tidak membuat beliau lupa pada keluarga dan anak-anak. Beliau tetap memberikan pendidikan terbaik pada mereka. Tentang masalah tersebut murid kesayangannya, yaitu Syekh Sya'roni berkata: "Al-Alim al-'alamah al-Muhaqqiq Muhammad putera Syekh Shihabbuddin yang telah kukenal semenjak ada dalam gendonganku sampai sekarang (akhir abad 10H.), tidak pernah aku lihat kejelekan agamanya. Sejak kecil beliau tidak bermain dengan teman-teman sebayanya, beliau hidup dalam cahaya agama, takwa, menjaga anggota tubuh dan kewibawaan. Orang tuanya mendidik dengan didikan yang terbaik.

Lebih jauh Imam Sya'roni berkata : "Aku mengaji di hadapan orang tua beliau di Madrasah al-Nashiriyyah dan kutemukan sinar kebaikan dan taufiq pada beliau. Allah telah membuat orang-orang senang dan sayang pada beliau. Putra Syekh Shihabuddin ini juga menjadi rujukan warga Mesir dalam masalah penyeleksian fatwa. Ulama fiqih telah sepakat akan keilmuan, wara' dan kebaikan akhlaknya. Tidak henti-hentinya beliau memperoleh ilmu dari ayahnya sehingga tidak perlu mencari ilmu pada ulama lain. Kemudian beliau menyebarkan apa yang dimilikinya baik berupa fiqih, hadits, tafsir, nahwu, ma'ani, bayan, dan lainnya, sehingga beliau siap menjadi penerus ayahnya. Setelah ayahnya meninggal beliau mengurusi pendidikan di Masjid Jami' al-Azhar. Ulama-ulama pun menerimanya dan tidak ada yang membantah kecuali orang- orang yang tidak tahu akan kapasitas beliau atau orang yang dipenuhi dengan rasa dengki dan iri hati.

Syeikh Shihabudin Wafat
Syekh ar-Ramli meninggal pada tahun 757H dan jenazahnya disalati pada hari Jum'at di Masjid al-Azhar. Imam Sya'roni berkata: "Aku tidak pernah melihat jenazah sebagaimana jenazah beliau. Di situ banyak manusia sehingga masjid pun penuh oleh jama'ah yang melaksanakan shalat jum'at pada waktu itu. Sampai-sampai sebagian dari mereka salat di tempat lain dan kembali untuk menghormati jenazah beliau.

Masjid Jami’ al Ramli
Masjid Jami' al-Ramli sekarang terletak di daerah Midan Bab al-Sya'riah, yang dulu terkenal dengan sebutan Bab al-Qantharah, karena di situ terdapat al-Qantharah (jembatan) di atas teluk Misri. Tentang hal tersebut Ali Mubarak berkata: "Masjid yang berada di medan al-Quthn ini dulunya rusak, di dalamnya terdapat makam al-Ramli dan puteranya. Disebabkan oleh Hasanain al-Rimali al-Khibas yang menisbatkan dirinya pada Syekh al-Ramli dan mengaku bahwa al-Ramli adalah kakeknya, maka direnovasilah mesjid tersebut. Beliau merenovasi dengan biaya sendiri pada tahun 1288H. Beliau juga merenovasi dua makam dan melaksanakan syiar-syiarnya.

Masjid Jami' al-Ramli sekarang terletak di daerah Midan Bab al-Sya'riah, yang dulu terkenal dengan sebutan Bab al-Qantharah, karena di situ terdapat al-Qantharah (jembatan) di atas teluk Misri. Tentang hal tersebut Ali Mubarak berkata: "Masjid yang berada di medan al-Quthn ini dulunya rusak, di dalamnya terdapat makam al-Ramli dan puteranya. Disebabkan oleh Hasanain al-Rimali al-Khibas yang menisbatkan dirinya pada Syekh al-Ramli dan mengaku bahwa al-Ramli adalah kakeknya, maka direnovasilah mesjid tersebut. Beliau merenovasi dengan biaya sendiri pada tahun 1288H. Beliau juga merenovasi dua makam dan melaksanakan syiar-syiarnya.

Masjid tersebut sekarang berada dalam area persegi empat yang kira-kira panjangnya 12 m dan lebar 11m. Di tengahnya terdapat satu tiang untuk menyangga atap yang terbuat dari kayu. Pada tembok kiblatnya terdapat mihrab besar dan mimbar kuno yang di sampingnya terdapat ruangan sempit. Di dalamnya terdapat makam Muhammad al-Satuhi, pelayan masjid pada masa al-Ramli. Pada arah barat masjid terdapat ruangan persegi empat, yang di dalamnya terdapat mihrab dan tempat sholat ke arah makam Syekh al-Ramli dan Muhammad putra beliau.[ ]