Sunan Gresik
(Maulana Malik Ibrahim)
Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M/882 H) adalah nama
salah seorang Walisongo, yang dianggap yang pertama kali
menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Ia dimakamkan di desa Gapura, kota Gresik, Jawa Timur.
Tidak terdapat
bukti sejarah yang meyakinkan mengenai asal keturunan Maulana Malik Ibrahim,
meskipun pada umumnya disepakati bahwa ia bukanlah orang Jawa
asli. Sebutan Syekh Maghribi yang diberikan masyarakat kepadanya, kemungkinan
menisbatkan asal keturunannya dari Maghrib, atau Maroko di Afrika Utara.
Silsilah
Babad Tanah Jawi versi J.J. Meinsma menyebutnya
dengan nama Makhdum Ibrahim as-Samarqandy, yang mengikuti pengucapan lidah Jawa
menjadi Syekh Ibrahim Asmarakandi. Ia memperkirakan bahwa Maulana Malik Ibrahim
lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14.
Dalam keterangannya pada buku The History of Java
mengenai asal mula dan perkembangan kota Gresik, Raffles menyatakan bahwa menurut penuturan para
penulis lokal, "Mulana Ibrahim, seorang Pandita terkenal berasal dari
Arabia, keturunan dari Jenal Abidin, dan sepupu Raja Chermen (sebuah negara
Sabrang), telah menetap bersama para Mahomedans lainnya di Desa Leran di
Jang'gala".
Namun demikian, kemungkinan
pendapat yang terkuat adalah berdasarkan pembacaan J.P. Moquette atas baris
kelima tulisan pada prasasti makamnya di desa Gapura Wetan, Gresik; yang mengindikasikan
bahwa ia berasal dari Kashan,
suatu tempat di Iran sekarang.
Terdapat beberapa versi
mengenai silsilah Maulana Malik Ibrahim. Ia pada umumnya dianggap merupakan
keturunan Rasulullah SAW;
melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq,
Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal,
Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib
Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah
(al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal, Jamaluddin Akbar al-Husain (Maulana
Akbar), dan Maulana Malik Ibrahim.
Sejarah dakwah
Maulana Malik Ibrahim dianggap termasuk
salah seorang yang pertama-tama menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, dan
merupakan wali senior diantara para Walisongo lainnya. Beberapa versi babad
menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali ialah
desa Sembalo, sekarang adalah daerah Leran, Kecamatan Manyar, yaitu 9 kilometer ke arah
utara kota
Gresik. Ia lalu mulai menyiarkan agama Islam di tanah Jawa bagian timur, dengan
mendirikan mesjid pertama di desa Pasucinan, Manyar.
Pertama-tama yang dilakukannya
ialah mendekati masyarakat melalui pergaulan. Budi bahasa yang
ramah-tamah senantiasa diperlihatkannya di dalam pergaulan sehari-hari. Ia
tidak menentang secara tajam agama dan kepercayaan hidup dari penduduk asli,
melainkan hanya memperlihatkan keindahan dan kabaikan yang dibawa oleh agama
Islam. Berkat keramah-tamahannya, banyak masyarakat yang tertarik masuk ke
dalam agama Islam.[10]
Sebagaimana yang dilakukan para
wali awal lainnya, aktivitas pertama yang dilakukan Maulana Malik Ibrahim ialah
berdagang. Ia berdagang di tempat pelabuhan terbuka, yang sekarang dinamakan
desa Roomo, Manyar.[11] Perdagangan membuatnya
dapat berinteraksi dengan masyarakat banyak, selain itu raja dan para bangsawan
dapat pula turut serta dalam kegiatan perdagangan tersebut sebagai pelaku
jual-beli, pemilik kapal atau pemodal.[12]
Setelah cukup mapan di
masyarakat, Maulana Malik Ibrahim kemudian melakukan kunjungan ke ibukota Majapahit di Trowulan. Raja Majapahit meskipun
tidak masuk Islam tetapi menerimanya dengan baik, bahkan memberikannya sebidang
tanah di pinggiran kota
Gresik. Wilayah itulah yang sekarang dikenal dengan nama desa Gapura. Cerita
rakyat tersebut diduga mengandung unsur-unsur kebenaran; mengingat menurut
Groeneveldt pada saat Maulana Malik Ibrahim hidup, di ibukota Majapahit telah
banyak orang asing termasuk dari Asia Barat.
Demikianlah, dalam rangka mempersiapkan
kader untuk melanjutkan perjuangan menegakkan ajaran-ajaran Islam, Maulana
Malik Ibrahim membuka pesantren-pesantren yang merupakan tempat mendidik pemuka
agama Islam di masa selanjutnya. Hingga saat ini makamnya masih diziarahi
orang-orang yang menghargai usahanya menyebarkan agama Islam berabad-abad yang
silam. Setiap malam Jumat Legi, masyarakat setempat ramai berkunjung untuk
berziarah. Ritual ziarah tahunan atau haul juga diadakan setiap tanggal
12 Rabi'ul Awwal, sesuai tanggal wafat pada prasasi makamnya. Pada acara haul
biasa dilakukan khataman Al-Quran, mauludan (pembacaan riwayat
Nabi Muhammad), dan dihidangkan makanan khas bubur harisah.
Legenda rakyat
Menurut legenda rakyat,
dikatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim berasal dari Persia . Maulana Malik Ibrahim
Ibrahim dan Maulana Ishaq disebutkan sebagai anak dari Maulana Jumadil
Kubro, atau Syekh Jumadil Qubro.
Maulana Ishaq disebutkan menjadi ulama terkenal di Samudera Pasai, sekaligus
ayah dari Raden Paku atau Sunan Giri. Syekh
Jumadil Qubro dan kedua anaknya bersama-sama datang ke pulau Jawa. Setelah itu
mereka berpisah; Syekh Jumadil Qubro
tetap di pulau Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke Champa, Vietnam Selatan; dan
adiknya Maulana Ishak mengislamkan Samudera Pasai.
Maulana Malik Ibrahim
disebutkan bermukim di Champa (dalam legenda disebut
sebagai negeri Chermain atau Cermin) selama tiga belas tahun. Ia menikahi putri
raja yang memberinya dua putra; yaitu Raden Rahmat atau Sunan Ampel dan Sayid Ali Murtadha atau Raden
Santri. Setelah cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, ia hijrah ke pulau
Jawa dan meninggalkan keluarganya. Setelah dewasa, kedua anaknya mengikuti
jejaknya menyebarkan agama Islam di pulau Jawa.
Maulana Malik Ibrahim dalam
cerita rakyat terkadang juga disebut dengan nama Kakek Bantal. Ia
mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah, dan
berhasil dalam misinya mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika
itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara.
Selain itu, ia juga sering
mengobati masyarakat sekitar tanpa biaya. Sebagai tabib, diceritakan bahwa ia pernah
diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Champa. Besar kemungkinan
permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.
Wafat
Setelah selesai membangun dan
menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 Maulana Malik Ibrahim
wafat. Makamnya kini terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.
Inskripsi dalam bahasa Arab
yang tertulis pada makamnya adalah sebagai berikut:
Ini adalah makam
almarhum seorang yang dapat diharapkan mendapat pengampunan Allah dan yang
mengharapkan kepada rahmat Tuhannya Yang Maha Luhur, guru para pangeran dan
sebagai tongkat sekalian para Sultan dan Wazir, siraman bagi kaum fakir dan
miskin. Yang berbahagia dan syahid penguasa dan urusan agama: Malik Ibrahim
yang terkenal dengan kebaikannya. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya
dan semoga menempatkannya di surga. Ia wafat pada hari Senin 12 Rabi'ul Awwal
822 Hijriah.
Saat ini, jalan yang menuju ke makam tersebut diberi nama Jalan
Malik Ibrahim.
Sunan Ampel
(Raden Rahmat)
!["ilustrasi Sunan Ampel"](file:///C:/Users/Toshiba/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/02/clip_image004.jpg)
![](file:///C:/Users/Toshiba/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/02/clip_image005.gif)
Ibrahim
Asmarakandi disebut juga sebagai Maulana Malik Ibrahim. Ia dan adiknya, Maulana
Ishaq adalah anak dari Syekh Jumadil Qubro. Ketiganya berasal dari Samarkand , Uzbekistan ,
Asia Tengah.
Silsilah
Sunan Ampel/ Raden Rahmat/ Sayyid Ahmad
Rahmatillah bin Maulana Malik Ibrahim/ Ibrahim Asmoro bin Syaikh Jumadil Qubro/ Jamaluddin Akbar
Khan bin Ahmad Jalaludin Khan bin Abdullah Khan bin Abdul Malik Al-Muhajir
(Nasrabad,India) bin Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut) bin Muhammad Sohib Mirbath (Hadhramaut) Ali
Kholi' Qosam bin Alawi Ats-Tsani bin Muhammad Sohibus Saumi'ah bin Alawi Awwal
bin Ubaidullah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa Ar-Rumi bin Muhammad
An-Naqib bin Ali Uraidhi bin Ja'far ash-Shadiq bin Muhammad
al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Imam Husain
bin Ali bin Abi Thalib dan Fatimah
az-Zahra bin Muhammad.
Jadi, Sunan Ampel memiliki darah Uzbekistan dan
Champa dari sebelah ibu. Tetapi dari ayah leluhur mereka adalah keturunan
langsung dari Ahmad al-Muhajir, Hadhramaut.
Bermakna mereka termasuk keluarga besar Saadah BaAlawi.
Sejarah dakwah
Syekh Jumadil Qubro, dan kedua
anaknya, Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishak bersama sama datang ke pulau
Jawa. Setelah itu mereka berpisah, Syekh Jumadil Qubro tetap di pulau Jawa,
Maulana Malik Ibrahim ke Champa, Vietnam Selatan, dan
adiknya Maulana Ishak mengislamkan Samudra Pasai.
Di Kerajaan Champa, Maulana
Malik Ibrahim berhasil mengislamkan Raja Champa, yang akhirnya merubah Kerajaan
Champa menjadi Kerajaan Islam. Akhirnya dia dijodohkan dengan putri Champa, dan
lahirlah Raden Rahmat. Di kemudian hari Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau
Jawa tanpa diikuti keluarganya.
Sunan Ampel datang ke pulau Jawa
pada tahun 1443, untuk menemui bibinya, Dwarawati.
Dwarawati adalah seorang putri Champa yang menikah dengan raja Majapahit yang bernama Prabu
Kertawijaya.
Sunan Ampel menikah dengan Nyai
Ageng Manila, putri seorang adipati di Tuban
yang bernama Arya Teja. Mereka dikaruniai 4 orang anak, yaitu: Putri Nyai Ageng
Maloka, Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan Syarifah, yang merupakan ibu
dari Sunan Kudus.
Pada tahun 1479,
Sunan Ampel mendirikan Mesjid Agung Demak.
Sunan Ampel diperkirakan wafat
pada tahun 1481 di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.
–ooOoo–
Sunan Bonang
(Raden Makdum Ibrahim)
![Text Box:](file:///C:/Users/Toshiba/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/02/clip_image007.gif)
Sunan Bonang wafat pada tahun 1525
M, dan saat ini makam aslinya berada di Desa Bonang. Namun, yang sering
diziarahi adalah makamnya di kota
Tuban. Lokasi makam Sunan Bonang ada dua karena
konon, saat beliau meninggal, kabar wafatnya beliau sampai pada seorang
muridnya yang berasal dari Madura. Sang murid sangat mengagumi beliau sampai
ingin membawa jenazah beliau ke Madura. Namun, murid tersebut tak dapat
membawanya dan hanya dapat membawa kain kafan dan pakaian-pakaian beliau. Saat
melewati Tuban, ada seorang murid Sunan Bonang yang berasal dari Tuban yang
mendengar ada murid dari Madura yang membawa jenazah Sunan Bonang mereka memperebutkannya.
Silsilah
Terdapat silsilah yang menghubungkan Sunan Bonang dan
Nabi Muhammad SAW.
Sunan Bonang (Makdum Ibrahim)
bin Sunan Ampel (Raden Rahmat) Sayyid Ahmad
Rahmatillah bin Maulana Malik Ibrahim
bin Syekh Jumadil Qubro
(Jamaluddin Akbar Khan) bin Ahmad Jalaludin Khan bin Abdullah Khan bin Abdul
Malik Al-Muhajir (dari Nasrabad,India) bin Alawi Ammil Faqih
(dari Hadramaut) bin Muhammad Sohib Mirbath
(dari Hadramaut) bin Ali Kholi' Qosam bin Alawi Ats-Tsani bin Muhammad Sohibus
Saumi'ah bin Alawi Awwal bin Ubaidullah bin Ahmad al-Muhajir bin mIsa Ar-Rumi bin Muhammad
An-Naqib bin Ali Uradhi bin
Ja'afar As-Sodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal 'Abidin bin Hussain bin
Ali bin Abi Thalib (dari Fatimah az-Zahra binti Muhammad).
Ja'afar As-Sodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal 'Abidin bin Hussain bin
Ali bin Abi Thalib (dari Fatimah az-Zahra binti Muhammad).
Karya
Sastra
Sunan Bonang banyak menggubah
sastra berbentuk suluk atau tembang tamsil. Antara lain Suluk
Wijil yang dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr. Sunan Bonang
juga menggubah tembang Tamba Ati (dari bahasa Jawa, berarti penyembuh jiwa) yang kini
masih sering dinyanyikan orang.
Apa pula sebuah karya sastra
dalam bahasa Jawa yang dahulu diperkirakan merupakan
karya Sunan Bonang dan oleh ilmuwan Belanda seperti Schrieke disebut Het Boek van Bonang atau
buku (Sunan) Bonang. Tetapi oleh G.W.J.
Drewes, seorang pakar Belanda lainnya, dianggap bukan karya Sunan
Bonang, melainkan dianggapkan sebagai karyanya.
Keilmuan
Sunan Bonang juga terkenal
dalam hal ilmu kebathinannya. Beliau mengembangkan ilmu (dzikir) yang berasal
dari Rasullah SAW, kemudian beliau kombinasi dengan kesimbangan pernafasan
yang disebut dengan rahasia Alif Lam Mim ( ا ل م ) yang artinya hanya Allah SWT yang tahu. Sunan Bonang juga
menciptakan gerakan-gerakan fisik atau jurus yang Beliau ambil dari seni bentuk
huruf Hijaiyyah yang berjumlah 28 huruf dimulai dari huruf Alif dan diakhiri
huruf Ya'. Beliau menciptakan Gerakan fisik dari nama dan simbol huruf hijayyah
adalah dengan tujuan yang sangat mendalam dan penuh dengan makna, secara awam
penulis artikan yaitu mengajak murid-muridnya untuk menghafal huruf-huruf
hijaiyyah dan nantinya setelah mencapai tingkatnya diharuskan bisa baca dan
memahami isi Al-Qur'an. Penekanan keilmuan yang diciptakan Sunan Bonang adalah
mengajak murid-muridnya untuk melakukan Sujud atau Sholat dan dzikir. Hingga
sekarang ilmu yang diciptakan oleh Sunan Bonang masih dilestarikan di Indonesia oleh generasinya dan diorganisasikan
dengan nama Padepokan Ilmu Sujud Tenaga Dalam Silat Tauhid Indonesia
–ooOoo–
Sunan Drajat
(Raden Qosim)
![Text Box:](file:///C:/Users/Toshiba/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/02/clip_image009.gif)
Sunan Drajat yang mempunyai
nama kecil Syarifudin atau raden Qosim putra Sunan Ampel dan terkenal dengan
kecerdasannya. Setelah menguasai pelajaran islam beliau menyebarkan agama islam
di desa Drajad sebagai tanah perdikan dikecamatan Paciran. Tempat ini diberikan
oleh kerajaan Demak. Ia diberi gelar Sunan Mayang Madu oleh Raden Patah pada
tahun saka 1442/1520 masehi Makam Sunan Drajat dapat ditempuh dari surabaya
maupun Tuban lewat Jalan Dandeles ( Anyer - Panarukan ), namun bila lewat
Lamongan dapat ditempuh 30 menit dengan kendaran pribadi.
Sejarah
singkat
Sunan Drajat bernama kecil
Raden Syarifuddin atau Raden Qosim putra Sunan Ampel yang terkenal cerdas.
Setelah pelajaran Islam dikuasai, beliau mengambil tempat di Desa Drajat
wilayah Kecamatan Paciran Kabupaten Daerah Tingkat II Lamongan sebagai pusat
kegiatan dakwahnya sekitar abad XV dan XVI Masehi. Beliau memegang kendali
keprajaan di wilayah perdikan Drajat sebagai otonom kerajaan Demak selama 36
tahun.
Beliau sebagai Wali penyebar
Islam yang terkenal sosiawan sangat memperhatikan nasib kaum fakir miskin.
Beliau terlebih dahulu mengusahakan kesejahteraan sosial baru memberikan
pemahaman tentang ajaran Islam. Motivasi lebih ditekankan pada etos kerja
keras, kedermawanan untuk mengentas kemiskinan dan menciptakan kemakmuran.
Usaha kearah itu menjadi lebih mudah karena Sunan Drajat memperoleh kewenangan
untuk mengatur wilayahnya yang mempunyai otonomi.
Sebagai penghargaan atas
keberhasilannya menyebarkan agama Islam dan usahanya menanggulangi kemiskinan
dengan menciptakan kehidupan yang makmur bagi warganya, beliau memperoleh gelar
Sunan Mayang Madu dari Raden Patah Sultan Demak I pada tahun saka 1442 atau
1520 Masehi.
Wewarah pengentasan kemiskinan
Sunan Drajat kini terabadikan dalam sap tangga ke tujuh dari tataran komplek
Makam Sunan Drajat. Secara lengkap makna filosofis ke tujuh sap tangga tersebut
sebagai berikut :
1. Memangun
resep teyasing Sasomo (kita selalu membuat senang hati orang lain)
2. Jroning
suko kudu eling Ian waspodo (didalam suasana riang kita harus tetap ingat dan
waspada)
3. Laksitaning
subroto tan nyipto marang pringgo bayaning lampah (dalam perjalanan untuk
mencapai cita - cita luhur kita tidak peduli dengan segala bentuk rintangan)
4. Meper
Hardaning Pancadriya (kita harus selalu menekan gelora nafsu - nafsu)
5. Heneng
- Hening - Henung (dalam keadaan diam kita akan memperoleh keheningan dan
dalam keadaan hening itulah kita akan mencapai cita - cita luhur).
6. Mulyo
guno Panca Waktu (suatu kebahagiaan lahir bathin hanya bisa kita capai dengan
sholat lima
waktu)
7. Menehono
teken marang wong kang wuto, Menehono mangan marang wong kang luwe, Menehono
busono marang wong kang wudo, Menehono ngiyup marang wongkang kodanan (Berilah
ilmu agar orang menjadi pandai, Sejahterakanlah kehidupan masyarakat yang
miskin, Ajarilah kesusilaan pada orang yang tidak punya malu, serta beri
perlindungan orang yang menderita)
Penghargaan
Dalam sejarahnya Sunan Drajat
juga dikenal sebagai seorang Wali pencipta tembang Mocopat yakni Pangkur. Sisa
- sisa gamelan Singomengkoknya Sunan Drajat kini tersimpan di Musium Daerah.
Untuk menghormati jasa - jasa
Sunan Drajat sebagai seorang Wali penyebar agama Islam di wilayah Lamongan dan
untuk melestarikan budaya serta bendabanda bersejarah peninggalannya Sunan
Drajat, keluarga dan para sahabatnya yang berjasa pada penyiaran agama Islam,
Pemerintah Daerah Lamongan mendirikan Musium Daerah Sunan Drajat disebelah
timur Makam. Musium ini telah diresmikan oleh Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur
tanggal 1 maret 1992.
Upaya Bupati Lamongan R. Mohamad
Faried, SH untuk menyelamatkan dan melestarikan warisan sejarah bangsa
ini mendapat dukungan penuh Gubernur Jawa Timur
dengan alokasi dana APBD I yaitu pada tahun 1992 dengan pemugaran Cungkup
dan pembangunan Gapura
Paduraksa senilai Rp. 98 juta dan anggaran Rp. 100 juta 202 ribu
untuk pembangunan kembali Masjid
Sunan Drajat yang diresmikan oleh Menteri Penerangan RI tanggal 27 Juni 1993. Pada
tahun 1993 I 1994 pembenahan dan pembangunan Situs Makam Sunan Drajat
dilanjutkan dengan pembangunan pagar kayu berukir, renovasi paseban, bale rante
serta Cungkup Sitinggil dengan dana APBD I Jawa Timur sebesar RP. 131 juta yang
diresmikan Gubernur Jawa Timur M. Basofi Sudirman tanggal 14 Januari 1994.
–ooOoo–
Sunan Kudus
(
Syekh Ja’far Shadiq)
Sunan Kudus dilahirkan dengan nama Jaffar Shadiq. Dia adalah putra dari
pasangan Sunan Ngudung,
adalah panglima perang Kesultanan Demak
Bintoro, dan Syarifah, adik dari Sunan Bonang. Sunan Kudus diperkirakan wafat
pada tahun 1550.
Sunan Kudus pernah menjabat
sebagai panglima perang untuk Kesultanan Demak, dan dalam masa pemerintahan Sunan Prawoto, dia menjadi penasihat bagi Arya Penangsang. Selain sebagai panglima perang
untuk Kesultanan Demak, Sunan Kudus juga menjabat sebagai hakim
pengadilan bagi Kesultanan Demak.
Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus
adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari
arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang
melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan
Kudus.
Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi
ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya
yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang
mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan
Sunan Kudus tentang surat
Al Baqarah yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat
tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.
Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita
ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat
tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah
pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan
Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Bukan hanya berdakwah seperti itu yang
dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima
Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan
Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.
Pada tahun 1530,
Sunan Kudus mendirikan sebuah mesjid di desa Kerjasan,
Kudus Kulon, yang kini terkenal dengan nama Masjid Agung Kudus
dan masih bertahan hingga sekarang. Sekarang Masjid Agung Kudus berada di
alun-alun kota Kudus, Jawa Tengah.Peninggalan lain dari Sunan Kudus
adalah permintaannya kepada masyarakat untuk tidak memotong hewan kurban sapi
dalam perayaan Idul Adha untuk
menghormati masyarakat penganut agama Hindu
dengan mengganti kurban sapi dengan memotong kurban kerbau, pesan untuk memotong kurban kerbau ini masih banyak
ditaati oleh masyarakat Kudus hingga saat ini.
–ooOoo–
Sunan Giri
(Raden
‘Ainul Yakin)
![Text Box:](file:///C:/Users/Toshiba/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/02/clip_image013.gif)
Silsilah
Beberapa babad menceritakan
pendapat yang berbeda mengenai silsilah Sunan Giri. Sebagian babad
berpendapat bahwa ia adalah anak Maulana Ishaq, seorang mubaligh yang datang
dari Asia Tengah. Maulana Ishaq diceritakan menikah dengan Dewi Sekardadu,
yaitu putri dari Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir
kekuasaan Majapahit.
Pendapat lainnya yang
menyatakan bahwa Sunan Giri juga merupakan keturunan Rasulullah SAW; yaitu
melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq,
Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rummi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal,
Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib
Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah
(al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan), Jamaluddin Akbar
al-Husaini (Maulana Akbar), Maulana Ishaq, dan 'Ainul Yaqin (Sunan Giri).
Umumnya pendapat tersebut adalah berdasarkan riwayat pesantren-pesantren Jawa
Timur, dan catatan nasab Sa'adah BaAlawi Hadramaut.
Kisah
Sunan Giri merupakan buah
pernikahan dari Maulana Ishaq, seorang mubaligh Islam dari Asia Tengah, dengan
Dewi Sekardadu, putri Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa
akhir Majapahit. Namun kelahirannya dianggap telah membawa kutukan berupa wabah
penyakit di wilayah tersebut. Dipaksa untuk membuang anaknya, Dewi Sekardadu
menghanyutkannya ke laut.
Kemudian, bayi tersebut
ditemukan oleh sekelompok awak kapal (pelaut) dan dibawa ke Gresik. Di Gresik,
dia diadopsi oleh seorang saudagar perempuan pemilik kapal, Nyai Gede Pinatih.
Karena ditemukan di laut, dia menamakan bayi tersebut Joko Samudra.
Ketika sudah cukup dewasa, Joko
Samudra dibawa ibunya ke Surabaya
untuk belajar agama kepada Sunan Ampel. Tak
berapa lama setelah mengajarnya, Sunan Ampel mengetahui identitas sebenarnya
dari murid kesayangannya itu. Kemudian, Sunan Ampel mengirimnya dan Makdhum
Ibrahim (Sunan Bonang), untuk
mendalami ajaran Islam di Pasai. Mereka diterima oleh Maulana Ishaq yang tak
lain adalah ayah Joko Samudra. Di sinilah, Joko Samudra, yang ternyata bernama Raden
Paku, mengetahui asal-muasal dan alasan mengapa dia dulu dibuang.
Dakwah
dan kesenian
Setelah tiga tahun berguru
kepada ayahnya, Raden Paku atau lebih dikenal dengan Raden 'Ainul Yaqin
kembali ke Jawa. Ia kemudian mendirikan sebuah pesantren giri di sebuah perbukitan di desa
Sidomukti, Kebomas. Dalam bahasa Jawa, giri
berarti gunung. Sejak itulah, ia dikenal masyarakat dengan sebutan Sunan
Giri.
Pesantren Giri kemudian menjadi
terkenal sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa,
bahkan pengaruhnya sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Pengaruh Giri terus berkembang sampai menjadi
kerajaan kecil yang disebut Giri Kedaton, yang menguasai Gresik dan
sekitarnya selama beberapa generasi sampai akhirnya ditumbangkan oleh Sultan Agung.
Terdapat beberapa karya seni tradisional Jawa yang sering dianggap
berhubungkan dengan Sunan Giri, diantaranya adalah permainan-permainan anak
seperti Jelungan, Lir-ilir dan Cublak Suweng; serta
beberapa gending (lagu instrumental Jawa) seperti Asmaradana dan Pucung.
–ooOoo–
Sunan Kalijaga
(Raden Said)
![Text Box:](file:///C:/Users/Toshiba/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/02/clip_image015.gif)
Berdasarkan satu
versi masyarakat Cirebon, nama Kalijaga berasal dari Desa
Kalijaga di Cirebon. Pada saat Sunan Kalijaga berdiam di sana , dia sering berendam di sungai (kali),
atau jaga kali.
Dalam satu riwayat, Sunan
Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishak, dan
mempunyai 3 putra: R. Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rakayuh dan Dewi Sofiah.
Ketika wafat, beliau dimakamkan
di Desa Kadilangu, dekat kota Demak
(Bintara). Makam ini hingga sekarang masih ramai diziarahi orang.
Sejarah
Hidup
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan
mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir
kekuasaan Majapahit (berakhir 1478),
Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon
dan Banten, bahkan
juga Kerajaan Pajang
yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati.
Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid
Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak.
Tiang "tatal" (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang
utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Dalam dakwah, ia punya pola
yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung
"sufistik berbasis salaf"
-bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan
kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya
lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya.
Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi.
Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya
kebiasaan lama hilang. Tidak mengherankan, ajaran Sunan Kalijaga terkesan
sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta
seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Beberapa lagu suluk
ciptaannya yang populer adalah Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul. Dialah
menggagas baju takwa, perayaan sekatenan, garebeg maulud,
serta lakon carangan
Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu ("Petruk Jadi Raja"). Lanskap
pusat kota
berupa kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini pula
dikonsep oleh Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat
efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga;
di antaranya adalah adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang.
–ooOoo–
Sunan Muria
(Raden Umar Said)
![Text Box:](file:///C:/Users/Toshiba/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/02/clip_image017.gif)
Nama Sunan Muria sendiri diperkirakan
berasal dari nama gunung (Gunung Muria), yang
terletak di sebelah utara kota
Kudus, Jawa Tengah, tempat dia dimakamkan.
Sunan Muria seringkali dijadikan
pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530),
Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun
rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua
pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga
sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom
dan Kinanti.
“Walisongo” berarti sembilan
orang wali. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan
Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan
Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu
sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam
hubungan guru-murid.
Maulana Malik Ibrahim adalah
yang tertua. Sunan Ampel adalah anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah
keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan
Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan
sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan
Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain,
kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.
Mereka tinggal di pantai utara
Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting.
Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah,
serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi
pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban
baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian,
kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Pesantren Ampel Denta dan Giri
adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri,
peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan
Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan
Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya
masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati
kaum jelata.
Era Walisongo adalah era
berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan
kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya
di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang
sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap
kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat
“sembilan wali” ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Masing-masing tokoh tersebut
mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik
Ibrahim yang menempatkan diri sebagai “tabib” bagi Kerajaan Hindu Majapahit;
Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai “paus dari Timur” hingga Sunan
Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat
dipahami masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan Budha.
–ooOoo–
Sunan Gunung
Jati
(Syarif Hidayatulloh)
![Text Box:](file:///C:/Users/Toshiba/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/02/clip_image019.gif)
Jamaluddin Akbar adalah seorang Muballigh dan Musafir besar dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai Syekh Maulana Akbar bagi kaum Sufi di tanah air.
Syekh Maulana Akbar
adalah putra Ahmad Jalal Syah putra Abdullah Khan putra Abdul Malik putra Alwi
putra Syekh Muhammad
Shahib Mirbath, ulama besar di Hadramaut, Yaman
yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah melalui cucu
beliau Imam Husain.
Silsilah
Sunan Gunung Jati/
Syarif Hidayatullah Al-Khan bin Sayyid 'Umadtuddin Abdullah Al-Khan bin Sayyid
'Ali Nuruddin Al-Khan/ 'Ali Nurul 'Alam Sayyid Syaikh Jumadil Qubro/ Jamaluddin
Akbar Al-Khan bin Sayyid Ahmad Shah Jalal/ Ahmad Jalaludin Al-Khan bin Sayyid
Abdullah Al-'Azhomatu Khan bin Sayyid Amir 'Abdul Malik Al-Muhajir
(Nasrabad,India) bin Sayyid Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut) bin Muhammad Sohib Mirbath
(Hadhramaut) Sayyid Ali Kholi' Qosim bin Sayyid Alawi Ats-Tsani bin Sayyid
Muhammad Sohibus Saumi'ah bin Sayyid Alawi Awwal bin Sayyid Al-Imam 'Ubaidillah
bin Ahmad al-Muhajir
bin Sayyid 'Isa Naqib Ar-Rumi bin Sayyid Muhammad An-Naqib bin Sayyid Al-Imam
Ali Uradhi bin Sayyidina Ja'far As-Sodiq bin Sayyidina Muhammad Al Baqir bin
Sayyidina 'Ali Zainal 'Abidin bin Al-Imam Sayyidina Hussain Al-Husain putera
Ali bin Abu Tholib dan Fatimah Az-Zahro binti Muhammad.
Silsilah
dari Raja Pajajaran
Sunan Gunung Jati/ Syarif
Hidayatullah Rara Santang (Syarifah Muda'im) Prabu Jaya Dewata/ Raden Pamanah
Rasa/Prabu Siliwangi II Prabu Dewa Niskala (Raja Galuh/Kawali) Niskala Wastu
Kancana/ Prabu Siliwangi I Prabu Linggabuana / Prabu Wangi (Raja yang tewas di
Bubat).
Ibu
Ibunda Syarif Hidayatullah
adalah Nyai
Rara Santang putri Prabu Siliwangi (dari Nyai Subang Larang) adik Pangeran Walangsungsang bergelar Cakrabuwana /
Cakrabumi atau Mbah Kuwu Cirebon Girang yang berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, seorang Muballigh asal Baghdad bernama asli Idhafi
Mahdi.
Makam Nyai Rara Santang bisa
kita temui di dalam komplek KLENTENG di Pasar Bogor , di sebelah Kebun Raya Bogor.
Pertemuan orang tuanya
Pertemuan Rara Santang dengan
Syarif Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar masih diperselisihkan. Sebagian
riwayat (lebih tepatnya mitos) menyebutkan bertemu pertama kali di Mesir,
tapi analisis yang lebih kuat atas dasar perkembangan Islam di pesisir ketika itu,
pertemuan mereka di tempat-tempat pengajian seperti yang di Majelis
Syekh Quro, Karawang (tempat belajar Nyai Subang Larang ibunda dari
Rara Santang) atau di Majelis
Syekh Kahfi, Cirebon (tempat belajar Kiyan Santang kakanda dari Rara
Santang).
Syarif Abdullah cucu Syekh
Mawlana Akbar, sangat mungkin terlibat aktif membantu pengajian di
majelis-majelis itu mengingat ayahanda dan kakek beliau datang ke Nusantara
sengaja untuk menyokong perkembangan agama Islam yang telah dirintis oleh para
pendahulu.
Pernikahan Rara Santang putri
Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang dengan Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar
melahirkan seorang putra yang diberi nama Raden Syarif Hidayatullah.
Perjalanan
Hidup
Raden Syarif Hidayatullah
mewarisi kecendrungan spiritual dari kakek buyutnya Syekh Mawlana Akbar
sehingga ketika telah selesai belajar agama di pesantren Syekh Kahfi beliau
meneruskan ke Timur Tengah. Tempat mana saja yang dikunjungi masih
diperselisihkan, kecuali (mungkin) Mekah dan Madinah karena ke 2 tempat itu wajib dikunjungi
sebagai bagian dari ibadah haji untuk umat Islam.
Babad Cirebon menyebutkan
ketika Pangeran Cakrabuwana membangun kota Cirebon dan tidak mempunyai pewaris, maka sepulang dari
Timur Tengah Raden Syarif Hidayat mengambil peranan mambangun kota
Cirebon dan menjadi pemimpin perkampungan Muslim
yang baru dibentuk itu setelah Uwaknya wafat.
Pernikahan
Memasuki usia dewasa sekitar
diantara tahun 1470-1480, beliau menikahi adik dari Bupati Banten ketika itu bernama
Nyai
Kawunganten. Dari pernikahan ini beliau mendapatkan seorang putri
yaitu Ratu Wulung Ayu
dan Mawlana
Hasanuddin yang kelak menjadi Sultan Banten I.
Kesultanan Demak
Masa ini kurang banyak diteliti
para sejarawan hingga tiba masa pendirian Kesultanan Demak tahun 1487 yang mana beliau
memberikan andil karena sebagai anggota dari Dewan Muballigh yang sekarang kita
kenal dengan nama Walisongo. Pada masa ini
beliau berusia sekitar 37 tahun kurang lebih sama dengan usia Raden Patah yang baru diangkat menjadi Sultan
Demak I bergelar Alam Akbar Al Fattah. Bila Syarif Hidayat keturunan Syekh
Mawlana Akbar Gujarat dari pihak ayah, maka Raden Patah adalah keturunan beliau
juga tapi dari pihak ibu yang lahir di Campa.
Dengan diangkatnya Raden Patah
sebagai Sultan di Pulau Jawa bukan hanya di Demak, maka Cirebon menjadi semacam
Negara Bagian bawahan vassal
state dari kesultanan Demak, terbukti dengan tidak adanya riwayat
tentang pelantikan Syarif Hidayatullah secara resmi sebagai Sultan Cirebon.
Hal ini sesuai dengan strategi
yang telah digariskan Sunan Ampel, Ulama yang paling di-tua-kan di Dewan
Muballigh, bahwa agama Islam akan disebarkan di P. Jawa dengan Kesultanan Demak
sebagai pelopornya.
Gangguan proses Islamisasi
Setelah pendirian Kesultanan
Demak antara tahun 1490 hingga 1518 adalah masa-masa paling sulit, baik bagi
Syarif Hidayat dan Raden Patah karena proses Islamisasi secara damai mengalami
gangguan internal dari kerajaan Pakuan dan Galuh
(di Jawa Barat) dan Majapahit (di Jawa Tengah
dan Jawa Timur) dan gangguan external dari Portugis yang telah mulai expansi di Asia
Tenggara.
Tentang personaliti dari Syarif
Hidayat yang banyak dilukiskan sebagai seorang Ulama kharismatik, dalam
beberapa riwayat yang kuat, memiliki peranan penting dalam pengadilan Syekh Siti Jenar pada tahun 1508 di pelataran
Masjid Demak. Beliau ikut membimbing Ulama berperangai ganjil itu untuk
menerima hukuman mati dengan lebih dulu melucuti ilmu kekebalan tubuhnya.
Eksekusi yang dilakukan Sunan
Kalijaga akhirnya berjalan baik, dan dengan wafatnya Syekh Siti Jenar, maka
salah satu duri dalam daging di Kesultana Demak telah tercabut.
Raja Pakuan di awal abad 16,
seiring masuknya Portugis di Pasai dan Malaka, merasa mendapat sekutu untuk
mengurangi pengaruh Syarif Hidayat yang telah berkembang di Cirebon dan Banten. Hanya Sunda Kelapa yang masih dalam kekuasaan Pakuan.
Di saat yang genting inilah
Syarif Hidayat berperan dalam membimbing Pati Unus dalam pembentukan armada gabungan
Kesultanan Banten, Demak, Cirebon di P. Jawa dengan misi utama mengusir
Portugis dari wilayah Asia Tenggara. Terlebih dulu Syarif Hidayat menikahkan
putrinya untuk menjadi istri Pati Unus yang ke 2 di tahun 1511.
Kegagalan expedisi jihad II
Pati Unus yang sangat fatal di tahun 1521 memaksa Syarif Hidayat merombak
Pimpinan Armada Gabungan yang masih tersisa dan mengangkat Tubagus
Pasai (belakangan dikenal dengan nama Fatahillah),untuk menggantikan Pati Unus yang
syahid di Malaka, sebagai Panglima berikutnya dan menyusun strategi baru untuk
memancing Portugis bertempur di P. Jawa.
Sangat kebetulan karena Raja
Pakuan telah resmi mengundang Armada Portugis datang ke Sunda Kelapa sebagai
dukungan bagi kerajaan Pakuan yang sangat lemah di laut yang telah dijepit oleh
Kesultanan Banten
di Barat dan Kesultanan Cirebon
di Timur.
Kedatangan armada Portugis
sangat diharapkan dapat menjaga Sunda Kelapa dari kejatuhan berikutnya karena
praktis Kerajaan Hindu Pakuan tidak memiliki lagi kota
pelabuhan di P. Jawa setelah Banten dan Cirebon
menjadi kerajaan-kerajaan Islam.
Tahun 1527
bulan Juni Armada Portugis datang dihantam serangan dahsyat dari Pasukan Islam
yang telah bertahun-tahun ingin membalas dendam atas kegagalan expedisi Jihad
di Malaka 1521.
Dengan ini jatuhlah Sunda
Kelapa secara resmi ke dalam Kesultanan Banten-Cirebon dan di rubah nama
menjadi Jayakarta dan Tubagus Pasai mendapat gelar
Fatahillah.
Perebutan pengaruh antara
Pakuan-Galuh dengan Cirebon-Banten segera bergeser kembali ke darat. Tetapi
Pakuan dan Galuh yang telah kehilangan banyak wilayah menjadi sulit menjaga
keteguhan moral para pembesarnya. Satu persatu dari para Pangeran, Putri Pakuan
di banyak wilayah jatuh ke dalam pelukan agama Islam. Begitu pula sebagian
Panglima Perangnya.
Perundingan Yang Sangat Menentukan
Satu hal yang sangat unik dari
personaliti Syarif Hidayat adalah dalam riwayat jatuhnya Pakuan Pajajaran, ibu
kota Kerajaan Sunda pada tahun 1568 hanya setahun sebelum
beliau wafat dalam usia yang sangat sepuh hampir 120 tahun (1569). Diriwayatkan
dalam perundingan terakhir dengan para Pembesar istana Pakuan, Syarif Hidayat
memberikan 2 opsi.
Yang pertama Pembesar Istana
Pakuan yang bersedia masuk Islam akan dijaga kedudukan dan martabatnya seperti
gelar Pangeran, Putri atau Panglima dan dipersilakan tetap tinggal di keraton
masing-masing. Yang ke dua adalah bagi yang tidak bersedia masuk Islam maka
harus keluar dari keraton masing-masing dan keluar dari ibukota Pakuan untuk
diberikan tempat di pedalaman Banten wilayah Cibeo
sekarang.
Dalam perundingan terakhir yang
sangat menentukan dari riwayat Pakuan ini, sebagian besar para Pangeran dan
Putri-Putri Raja menerima opsi ke 1. Sedang Pasukan Kawal Istana dan
Panglimanya (sebanyak 40 orang) yang merupakan Korps Elite dari Angkatan Darat
Pakuan memilih opsi ke 2. Mereka inilah cikal bakal penduduk Baduy Dalam
sekarang yang terus menjaga anggota pemukiman hanya sebanyak 40 keluarga karena
keturunan dari 40 pengawal istana Pakuan. Anggota yang tidak terpilih harus
pindah ke pemukiman Baduy Luar.
Yang menjadi perdebatan para
ahli hingga kini adalah opsi ke 3 yang diminta Para Pendeta Sunda Wiwitan. Mereka menolak opsi pertama dan
ke 2. Dengan kata lain mereka ingin tetap memeluk agama Sunda Wiwitan (aliran
Hindu di wilayah Pakuan) tetapi tetap bermukim di dalam wilayah Istana Pakuan.
Sejarah membuktikan hingga
penyelidikan yang dilakukan para Arkeolog asing ketika masa penjajahan Belanda,
bahwa istana Pakuan dinyatakan hilang karena tidak ditemukan sisa-sisa
reruntuhannya. Sebagian riwayat yang diyakini kaum Sufi menyatakan dengan
kemampuan yang diberikan Allah karena doa seorang Ulama yang sudah sangat sepuh
sangat mudah dikabulkan, Syarif Hidayat telah memindahkan istana Pakuan ke alam
ghaib sehubungan dengan kerasnya penolakan Para Pendeta Sunda Wiwitan untuk
tidak menerima Islam ataupun sekadar keluar dari wilayah Istana Pakuan.
Bagi para sejarawan beliau adaSunan Gresik
(Maulana Malik Ibrahim)
Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M/882 H) adalah nama
salah seorang Walisongo, yang dianggap yang pertama kali
menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Ia dimakamkan di desa Gapura, kota Gresik, Jawa Timur.
Tidak terdapat
bukti sejarah yang meyakinkan mengenai asal keturunan Maulana Malik Ibrahim,
meskipun pada umumnya disepakati bahwa ia bukanlah orang Jawa
asli. Sebutan Syekh Maghribi yang diberikan masyarakat kepadanya, kemungkinan
menisbatkan asal keturunannya dari Maghrib, atau Maroko di Afrika Utara.
Silsilah
Babad Tanah Jawi versi J.J. Meinsma menyebutnya
dengan nama Makhdum Ibrahim as-Samarqandy, yang mengikuti pengucapan lidah Jawa
menjadi Syekh Ibrahim Asmarakandi. Ia memperkirakan bahwa Maulana Malik Ibrahim
lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14.
Dalam keterangannya pada buku The History of Java
mengenai asal mula dan perkembangan kota Gresik, Raffles menyatakan bahwa menurut penuturan para
penulis lokal, "Mulana Ibrahim, seorang Pandita terkenal berasal dari
Arabia, keturunan dari Jenal Abidin, dan sepupu Raja Chermen (sebuah negara
Sabrang), telah menetap bersama para Mahomedans lainnya di Desa Leran di
Jang'gala".
Namun demikian, kemungkinan
pendapat yang terkuat adalah berdasarkan pembacaan J.P. Moquette atas baris
kelima tulisan pada prasasti makamnya di desa Gapura Wetan, Gresik; yang mengindikasikan
bahwa ia berasal dari Kashan,
suatu tempat di Iran sekarang.
Terdapat beberapa versi
mengenai silsilah Maulana Malik Ibrahim. Ia pada umumnya dianggap merupakan
keturunan Rasulullah SAW;
melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq,
Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal,
Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib
Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah
(al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal, Jamaluddin Akbar al-Husain (Maulana
Akbar), dan Maulana Malik Ibrahim.
Sejarah dakwah
Maulana Malik Ibrahim dianggap termasuk
salah seorang yang pertama-tama menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, dan
merupakan wali senior diantara para Walisongo lainnya. Beberapa versi babad
menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali ialah
desa Sembalo, sekarang adalah daerah Leran, Kecamatan Manyar, yaitu 9 kilometer ke arah
utara kota
Gresik. Ia lalu mulai menyiarkan agama Islam di tanah Jawa bagian timur, dengan
mendirikan mesjid pertama di desa Pasucinan, Manyar.
Pertama-tama yang dilakukannya
ialah mendekati masyarakat melalui pergaulan. Budi bahasa yang
ramah-tamah senantiasa diperlihatkannya di dalam pergaulan sehari-hari. Ia
tidak menentang secara tajam agama dan kepercayaan hidup dari penduduk asli,
melainkan hanya memperlihatkan keindahan dan kabaikan yang dibawa oleh agama
Islam. Berkat keramah-tamahannya, banyak masyarakat yang tertarik masuk ke
dalam agama Islam.[10]
Sebagaimana yang dilakukan para
wali awal lainnya, aktivitas pertama yang dilakukan Maulana Malik Ibrahim ialah
berdagang. Ia berdagang di tempat pelabuhan terbuka, yang sekarang dinamakan
desa Roomo, Manyar.[11] Perdagangan membuatnya
dapat berinteraksi dengan masyarakat banyak, selain itu raja dan para bangsawan
dapat pula turut serta dalam kegiatan perdagangan tersebut sebagai pelaku
jual-beli, pemilik kapal atau pemodal.[12]
Setelah cukup mapan di
masyarakat, Maulana Malik Ibrahim kemudian melakukan kunjungan ke ibukota Majapahit di Trowulan. Raja Majapahit meskipun
tidak masuk Islam tetapi menerimanya dengan baik, bahkan memberikannya sebidang
tanah di pinggiran kota
Gresik. Wilayah itulah yang sekarang dikenal dengan nama desa Gapura. Cerita
rakyat tersebut diduga mengandung unsur-unsur kebenaran; mengingat menurut
Groeneveldt pada saat Maulana Malik Ibrahim hidup, di ibukota Majapahit telah
banyak orang asing termasuk dari Asia Barat.
Demikianlah, dalam rangka mempersiapkan
kader untuk melanjutkan perjuangan menegakkan ajaran-ajaran Islam, Maulana
Malik Ibrahim membuka pesantren-pesantren yang merupakan tempat mendidik pemuka
agama Islam di masa selanjutnya. Hingga saat ini makamnya masih diziarahi
orang-orang yang menghargai usahanya menyebarkan agama Islam berabad-abad yang
silam. Setiap malam Jumat Legi, masyarakat setempat ramai berkunjung untuk
berziarah. Ritual ziarah tahunan atau haul juga diadakan setiap tanggal
12 Rabi'ul Awwal, sesuai tanggal wafat pada prasasi makamnya. Pada acara haul
biasa dilakukan khataman Al-Quran, mauludan (pembacaan riwayat
Nabi Muhammad), dan dihidangkan makanan khas bubur harisah.
Legenda rakyat
Menurut legenda rakyat,
dikatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim berasal dari Persia . Maulana Malik Ibrahim
Ibrahim dan Maulana Ishaq disebutkan sebagai anak dari Maulana Jumadil
Kubro, atau Syekh Jumadil Qubro.
Maulana Ishaq disebutkan menjadi ulama terkenal di Samudera Pasai, sekaligus
ayah dari Raden Paku atau Sunan Giri. Syekh
Jumadil Qubro dan kedua anaknya bersama-sama datang ke pulau Jawa. Setelah itu
mereka berpisah; Syekh Jumadil Qubro
tetap di pulau Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke Champa, Vietnam Selatan; dan
adiknya Maulana Ishak mengislamkan Samudera Pasai.
Maulana Malik Ibrahim
disebutkan bermukim di Champa (dalam legenda disebut
sebagai negeri Chermain atau Cermin) selama tiga belas tahun. Ia menikahi putri
raja yang memberinya dua putra; yaitu Raden Rahmat atau Sunan Ampel dan Sayid Ali Murtadha atau Raden
Santri. Setelah cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, ia hijrah ke pulau
Jawa dan meninggalkan keluarganya. Setelah dewasa, kedua anaknya mengikuti
jejaknya menyebarkan agama Islam di pulau Jawa.
Maulana Malik Ibrahim dalam
cerita rakyat terkadang juga disebut dengan nama Kakek Bantal. Ia
mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah, dan
berhasil dalam misinya mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika
itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara.
Selain itu, ia juga sering
mengobati masyarakat sekitar tanpa biaya. Sebagai tabib, diceritakan bahwa ia pernah
diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Champa. Besar kemungkinan
permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.
Wafat
Setelah selesai membangun dan
menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 Maulana Malik Ibrahim
wafat. Makamnya kini terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.
Inskripsi dalam bahasa Arab
yang tertulis pada makamnya adalah sebagai berikut:
Ini adalah makam
almarhum seorang yang dapat diharapkan mendapat pengampunan Allah dan yang
mengharapkan kepada rahmat Tuhannya Yang Maha Luhur, guru para pangeran dan
sebagai tongkat sekalian para Sultan dan Wazir, siraman bagi kaum fakir dan
miskin. Yang berbahagia dan syahid penguasa dan urusan agama: Malik Ibrahim
yang terkenal dengan kebaikannya. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya
dan semoga menempatkannya di surga. Ia wafat pada hari Senin 12 Rabi'ul Awwal
822 Hijriah.
Saat ini, jalan yang menuju ke makam tersebut diberi nama Jalan
Malik Ibrahim.
Sunan Ampel
(Raden Rahmat)
!["ilustrasi Sunan Ampel"](file:///C:/Users/Toshiba/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/02/clip_image004.jpg)
![](file:///C:/Users/Toshiba/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/02/clip_image005.gif)
Ibrahim
Asmarakandi disebut juga sebagai Maulana Malik Ibrahim. Ia dan adiknya, Maulana
Ishaq adalah anak dari Syekh Jumadil Qubro. Ketiganya berasal dari Samarkand , Uzbekistan ,
Asia Tengah.
Silsilah
Sunan Ampel/ Raden Rahmat/ Sayyid Ahmad
Rahmatillah bin Maulana Malik Ibrahim/ Ibrahim Asmoro bin Syaikh Jumadil Qubro/ Jamaluddin Akbar
Khan bin Ahmad Jalaludin Khan bin Abdullah Khan bin Abdul Malik Al-Muhajir
(Nasrabad,India) bin Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut) bin Muhammad Sohib Mirbath (Hadhramaut) Ali
Kholi' Qosam bin Alawi Ats-Tsani bin Muhammad Sohibus Saumi'ah bin Alawi Awwal
bin Ubaidullah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa Ar-Rumi bin Muhammad
An-Naqib bin Ali Uraidhi bin Ja'far ash-Shadiq bin Muhammad
al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Imam Husain
bin Ali bin Abi Thalib dan Fatimah
az-Zahra bin Muhammad.
Jadi, Sunan Ampel memiliki darah Uzbekistan dan
Champa dari sebelah ibu. Tetapi dari ayah leluhur mereka adalah keturunan
langsung dari Ahmad al-Muhajir, Hadhramaut.
Bermakna mereka termasuk keluarga besar Saadah BaAlawi.
Sejarah dakwah
Syekh Jumadil Qubro, dan kedua
anaknya, Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishak bersama sama datang ke pulau
Jawa. Setelah itu mereka berpisah, Syekh Jumadil Qubro tetap di pulau Jawa,
Maulana Malik Ibrahim ke Champa, Vietnam Selatan, dan
adiknya Maulana Ishak mengislamkan Samudra Pasai.
Di Kerajaan Champa, Maulana
Malik Ibrahim berhasil mengislamkan Raja Champa, yang akhirnya merubah Kerajaan
Champa menjadi Kerajaan Islam. Akhirnya dia dijodohkan dengan putri Champa, dan
lahirlah Raden Rahmat. Di kemudian hari Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau
Jawa tanpa diikuti keluarganya.
Sunan Ampel datang ke pulau Jawa
pada tahun 1443, untuk menemui bibinya, Dwarawati.
Dwarawati adalah seorang putri Champa yang menikah dengan raja Majapahit yang bernama Prabu
Kertawijaya.
Sunan Ampel menikah dengan Nyai
Ageng Manila, putri seorang adipati di Tuban
yang bernama Arya Teja. Mereka dikaruniai 4 orang anak, yaitu: Putri Nyai Ageng
Maloka, Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan Syarifah, yang merupakan ibu
dari Sunan Kudus.
Pada tahun 1479,
Sunan Ampel mendirikan Mesjid Agung Demak.
Sunan Ampel diperkirakan wafat
pada tahun 1481 di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.
–ooOoo–
Sunan Bonang
(Raden Makdum Ibrahim)
![Text Box:](file:///C:/Users/Toshiba/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/02/clip_image007.gif)
Sunan Bonang wafat pada tahun 1525
M, dan saat ini makam aslinya berada di Desa Bonang. Namun, yang sering
diziarahi adalah makamnya di kota
Tuban. Lokasi makam Sunan Bonang ada dua karena
konon, saat beliau meninggal, kabar wafatnya beliau sampai pada seorang
muridnya yang berasal dari Madura. Sang murid sangat mengagumi beliau sampai
ingin membawa jenazah beliau ke Madura. Namun, murid tersebut tak dapat
membawanya dan hanya dapat membawa kain kafan dan pakaian-pakaian beliau. Saat
melewati Tuban, ada seorang murid Sunan Bonang yang berasal dari Tuban yang
mendengar ada murid dari Madura yang membawa jenazah Sunan Bonang mereka memperebutkannya.
Silsilah
Terdapat silsilah yang menghubungkan Sunan Bonang dan
Nabi Muhammad SAW.
Sunan Bonang (Makdum Ibrahim)
bin Sunan Ampel (Raden Rahmat) Sayyid Ahmad
Rahmatillah bin Maulana Malik Ibrahim
bin Syekh Jumadil Qubro
(Jamaluddin Akbar Khan) bin Ahmad Jalaludin Khan bin Abdullah Khan bin Abdul
Malik Al-Muhajir (dari Nasrabad,India) bin Alawi Ammil Faqih
(dari Hadramaut) bin Muhammad Sohib Mirbath
(dari Hadramaut) bin Ali Kholi' Qosam bin Alawi Ats-Tsani bin Muhammad Sohibus
Saumi'ah bin Alawi Awwal bin Ubaidullah bin Ahmad al-Muhajir bin mIsa Ar-Rumi bin Muhammad
An-Naqib bin Ali Uradhi bin
Ja'afar As-Sodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal 'Abidin bin Hussain bin
Ali bin Abi Thalib (dari Fatimah az-Zahra binti Muhammad).
Ja'afar As-Sodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal 'Abidin bin Hussain bin
Ali bin Abi Thalib (dari Fatimah az-Zahra binti Muhammad).
Karya
Sastra
Sunan Bonang banyak menggubah
sastra berbentuk suluk atau tembang tamsil. Antara lain Suluk
Wijil yang dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr. Sunan Bonang
juga menggubah tembang Tamba Ati (dari bahasa Jawa, berarti penyembuh jiwa) yang kini
masih sering dinyanyikan orang.
Apa pula sebuah karya sastra
dalam bahasa Jawa yang dahulu diperkirakan merupakan
karya Sunan Bonang dan oleh ilmuwan Belanda seperti Schrieke disebut Het Boek van Bonang atau
buku (Sunan) Bonang. Tetapi oleh G.W.J.
Drewes, seorang pakar Belanda lainnya, dianggap bukan karya Sunan
Bonang, melainkan dianggapkan sebagai karyanya.
Keilmuan
Sunan Bonang juga terkenal
dalam hal ilmu kebathinannya. Beliau mengembangkan ilmu (dzikir) yang berasal
dari Rasullah SAW, kemudian beliau kombinasi dengan kesimbangan pernafasan
yang disebut dengan rahasia Alif Lam Mim ( ا ل م ) yang artinya hanya Allah SWT yang tahu. Sunan Bonang juga
menciptakan gerakan-gerakan fisik atau jurus yang Beliau ambil dari seni bentuk
huruf Hijaiyyah yang berjumlah 28 huruf dimulai dari huruf Alif dan diakhiri
huruf Ya'. Beliau menciptakan Gerakan fisik dari nama dan simbol huruf hijayyah
adalah dengan tujuan yang sangat mendalam dan penuh dengan makna, secara awam
penulis artikan yaitu mengajak murid-muridnya untuk menghafal huruf-huruf
hijaiyyah dan nantinya setelah mencapai tingkatnya diharuskan bisa baca dan
memahami isi Al-Qur'an. Penekanan keilmuan yang diciptakan Sunan Bonang adalah
mengajak murid-muridnya untuk melakukan Sujud atau Sholat dan dzikir. Hingga
sekarang ilmu yang diciptakan oleh Sunan Bonang masih dilestarikan di Indonesia oleh generasinya dan diorganisasikan
dengan nama Padepokan Ilmu Sujud Tenaga Dalam Silat Tauhid Indonesia
–ooOoo–
Sunan Drajat
(Raden Qosim)
![Text Box:](file:///C:/Users/Toshiba/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/02/clip_image009.gif)
Sunan Drajat yang mempunyai
nama kecil Syarifudin atau raden Qosim putra Sunan Ampel dan terkenal dengan
kecerdasannya. Setelah menguasai pelajaran islam beliau menyebarkan agama islam
di desa Drajad sebagai tanah perdikan dikecamatan Paciran. Tempat ini diberikan
oleh kerajaan Demak. Ia diberi gelar Sunan Mayang Madu oleh Raden Patah pada
tahun saka 1442/1520 masehi Makam Sunan Drajat dapat ditempuh dari surabaya
maupun Tuban lewat Jalan Dandeles ( Anyer - Panarukan ), namun bila lewat
Lamongan dapat ditempuh 30 menit dengan kendaran pribadi.
Sejarah
singkat
Sunan Drajat bernama kecil
Raden Syarifuddin atau Raden Qosim putra Sunan Ampel yang terkenal cerdas.
Setelah pelajaran Islam dikuasai, beliau mengambil tempat di Desa Drajat
wilayah Kecamatan Paciran Kabupaten Daerah Tingkat II Lamongan sebagai pusat
kegiatan dakwahnya sekitar abad XV dan XVI Masehi. Beliau memegang kendali
keprajaan di wilayah perdikan Drajat sebagai otonom kerajaan Demak selama 36
tahun.
Beliau sebagai Wali penyebar
Islam yang terkenal sosiawan sangat memperhatikan nasib kaum fakir miskin.
Beliau terlebih dahulu mengusahakan kesejahteraan sosial baru memberikan
pemahaman tentang ajaran Islam. Motivasi lebih ditekankan pada etos kerja
keras, kedermawanan untuk mengentas kemiskinan dan menciptakan kemakmuran.
Usaha kearah itu menjadi lebih mudah karena Sunan Drajat memperoleh kewenangan
untuk mengatur wilayahnya yang mempunyai otonomi.
Sebagai penghargaan atas
keberhasilannya menyebarkan agama Islam dan usahanya menanggulangi kemiskinan
dengan menciptakan kehidupan yang makmur bagi warganya, beliau memperoleh gelar
Sunan Mayang Madu dari Raden Patah Sultan Demak I pada tahun saka 1442 atau
1520 Masehi.
Wewarah pengentasan kemiskinan
Sunan Drajat kini terabadikan dalam sap tangga ke tujuh dari tataran komplek
Makam Sunan Drajat. Secara lengkap makna filosofis ke tujuh sap tangga tersebut
sebagai berikut :
1. Memangun
resep teyasing Sasomo (kita selalu membuat senang hati orang lain)
2. Jroning
suko kudu eling Ian waspodo (didalam suasana riang kita harus tetap ingat dan
waspada)
3. Laksitaning
subroto tan nyipto marang pringgo bayaning lampah (dalam perjalanan untuk
mencapai cita - cita luhur kita tidak peduli dengan segala bentuk rintangan)
4. Meper
Hardaning Pancadriya (kita harus selalu menekan gelora nafsu - nafsu)
5. Heneng
- Hening - Henung (dalam keadaan diam kita akan memperoleh keheningan dan
dalam keadaan hening itulah kita akan mencapai cita - cita luhur).
6. Mulyo
guno Panca Waktu (suatu kebahagiaan lahir bathin hanya bisa kita capai dengan
sholat lima
waktu)
7. Menehono
teken marang wong kang wuto, Menehono mangan marang wong kang luwe, Menehono
busono marang wong kang wudo, Menehono ngiyup marang wongkang kodanan (Berilah
ilmu agar orang menjadi pandai, Sejahterakanlah kehidupan masyarakat yang
miskin, Ajarilah kesusilaan pada orang yang tidak punya malu, serta beri
perlindungan orang yang menderita)
Penghargaan
Dalam sejarahnya Sunan Drajat
juga dikenal sebagai seorang Wali pencipta tembang Mocopat yakni Pangkur. Sisa
- sisa gamelan Singomengkoknya Sunan Drajat kini tersimpan di Musium Daerah.
Untuk menghormati jasa - jasa
Sunan Drajat sebagai seorang Wali penyebar agama Islam di wilayah Lamongan dan
untuk melestarikan budaya serta bendabanda bersejarah peninggalannya Sunan
Drajat, keluarga dan para sahabatnya yang berjasa pada penyiaran agama Islam,
Pemerintah Daerah Lamongan mendirikan Musium Daerah Sunan Drajat disebelah
timur Makam. Musium ini telah diresmikan oleh Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur
tanggal 1 maret 1992.
Upaya Bupati Lamongan R. Mohamad
Faried, SH untuk menyelamatkan dan melestarikan warisan sejarah bangsa
ini mendapat dukungan penuh Gubernur Jawa Timur
dengan alokasi dana APBD I yaitu pada tahun 1992 dengan pemugaran Cungkup
dan pembangunan Gapura
Paduraksa senilai Rp. 98 juta dan anggaran Rp. 100 juta 202 ribu
untuk pembangunan kembali Masjid
Sunan Drajat yang diresmikan oleh Menteri Penerangan RI tanggal 27 Juni 1993. Pada
tahun 1993 I 1994 pembenahan dan pembangunan Situs Makam Sunan Drajat
dilanjutkan dengan pembangunan pagar kayu berukir, renovasi paseban, bale rante
serta Cungkup Sitinggil dengan dana APBD I Jawa Timur sebesar RP. 131 juta yang
diresmikan Gubernur Jawa Timur M. Basofi Sudirman tanggal 14 Januari 1994.
–ooOoo–
Sunan Kudus
(
Syekh Ja’far Shadiq)
Sunan Kudus dilahirkan dengan nama Jaffar Shadiq. Dia adalah putra dari
pasangan Sunan Ngudung,
adalah panglima perang Kesultanan Demak
Bintoro, dan Syarifah, adik dari Sunan Bonang. Sunan Kudus diperkirakan wafat
pada tahun 1550.
Sunan Kudus pernah menjabat
sebagai panglima perang untuk Kesultanan Demak, dan dalam masa pemerintahan Sunan Prawoto, dia menjadi penasihat bagi Arya Penangsang. Selain sebagai panglima perang
untuk Kesultanan Demak, Sunan Kudus juga menjabat sebagai hakim
pengadilan bagi Kesultanan Demak.
Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus
adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari
arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang
melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan
Kudus.
Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi
ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya
yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang
mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan
Sunan Kudus tentang surat
Al Baqarah yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat
tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.
Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita
ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat
tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah
pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan
Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Bukan hanya berdakwah seperti itu yang
dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima
Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan
Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.
Pada tahun 1530,
Sunan Kudus mendirikan sebuah mesjid di desa Kerjasan,
Kudus Kulon, yang kini terkenal dengan nama Masjid Agung Kudus
dan masih bertahan hingga sekarang. Sekarang Masjid Agung Kudus berada di
alun-alun kota Kudus, Jawa Tengah.Peninggalan lain dari Sunan Kudus
adalah permintaannya kepada masyarakat untuk tidak memotong hewan kurban sapi
dalam perayaan Idul Adha untuk
menghormati masyarakat penganut agama Hindu
dengan mengganti kurban sapi dengan memotong kurban kerbau, pesan untuk memotong kurban kerbau ini masih banyak
ditaati oleh masyarakat Kudus hingga saat ini.
–ooOoo–
Sunan Giri
(Raden
‘Ainul Yakin)
![Text Box:](file:///C:/Users/Toshiba/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/02/clip_image013.gif)
Silsilah
Beberapa babad menceritakan
pendapat yang berbeda mengenai silsilah Sunan Giri. Sebagian babad
berpendapat bahwa ia adalah anak Maulana Ishaq, seorang mubaligh yang datang
dari Asia Tengah. Maulana Ishaq diceritakan menikah dengan Dewi Sekardadu,
yaitu putri dari Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir
kekuasaan Majapahit.
Pendapat lainnya yang
menyatakan bahwa Sunan Giri juga merupakan keturunan Rasulullah SAW; yaitu
melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq,
Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rummi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal,
Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib
Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah
(al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan), Jamaluddin Akbar
al-Husaini (Maulana Akbar), Maulana Ishaq, dan 'Ainul Yaqin (Sunan Giri).
Umumnya pendapat tersebut adalah berdasarkan riwayat pesantren-pesantren Jawa
Timur, dan catatan nasab Sa'adah BaAlawi Hadramaut.
Kisah
Sunan Giri merupakan buah
pernikahan dari Maulana Ishaq, seorang mubaligh Islam dari Asia Tengah, dengan
Dewi Sekardadu, putri Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa
akhir Majapahit. Namun kelahirannya dianggap telah membawa kutukan berupa wabah
penyakit di wilayah tersebut. Dipaksa untuk membuang anaknya, Dewi Sekardadu
menghanyutkannya ke laut.
Kemudian, bayi tersebut
ditemukan oleh sekelompok awak kapal (pelaut) dan dibawa ke Gresik. Di Gresik,
dia diadopsi oleh seorang saudagar perempuan pemilik kapal, Nyai Gede Pinatih.
Karena ditemukan di laut, dia menamakan bayi tersebut Joko Samudra.
Ketika sudah cukup dewasa, Joko
Samudra dibawa ibunya ke Surabaya
untuk belajar agama kepada Sunan Ampel. Tak
berapa lama setelah mengajarnya, Sunan Ampel mengetahui identitas sebenarnya
dari murid kesayangannya itu. Kemudian, Sunan Ampel mengirimnya dan Makdhum
Ibrahim (Sunan Bonang), untuk
mendalami ajaran Islam di Pasai. Mereka diterima oleh Maulana Ishaq yang tak
lain adalah ayah Joko Samudra. Di sinilah, Joko Samudra, yang ternyata bernama Raden
Paku, mengetahui asal-muasal dan alasan mengapa dia dulu dibuang.
Dakwah
dan kesenian
Setelah tiga tahun berguru
kepada ayahnya, Raden Paku atau lebih dikenal dengan Raden 'Ainul Yaqin
kembali ke Jawa. Ia kemudian mendirikan sebuah pesantren giri di sebuah perbukitan di desa
Sidomukti, Kebomas. Dalam bahasa Jawa, giri
berarti gunung. Sejak itulah, ia dikenal masyarakat dengan sebutan Sunan
Giri.
Pesantren Giri kemudian menjadi
terkenal sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa,
bahkan pengaruhnya sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Pengaruh Giri terus berkembang sampai menjadi
kerajaan kecil yang disebut Giri Kedaton, yang menguasai Gresik dan
sekitarnya selama beberapa generasi sampai akhirnya ditumbangkan oleh Sultan Agung.
Terdapat beberapa karya seni tradisional Jawa yang sering dianggap
berhubungkan dengan Sunan Giri, diantaranya adalah permainan-permainan anak
seperti Jelungan, Lir-ilir dan Cublak Suweng; serta
beberapa gending (lagu instrumental Jawa) seperti Asmaradana dan Pucung.
–ooOoo–
Sunan Kalijaga
(Raden Said)
![Text Box:](file:///C:/Users/Toshiba/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/02/clip_image015.gif)
Berdasarkan satu
versi masyarakat Cirebon, nama Kalijaga berasal dari Desa
Kalijaga di Cirebon. Pada saat Sunan Kalijaga berdiam di sana , dia sering berendam di sungai (kali),
atau jaga kali.
Dalam satu riwayat, Sunan
Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishak, dan
mempunyai 3 putra: R. Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rakayuh dan Dewi Sofiah.
Ketika wafat, beliau dimakamkan
di Desa Kadilangu, dekat kota Demak
(Bintara). Makam ini hingga sekarang masih ramai diziarahi orang.
Sejarah
Hidup
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan
mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir
kekuasaan Majapahit (berakhir 1478),
Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon
dan Banten, bahkan
juga Kerajaan Pajang
yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati.
Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid
Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak.
Tiang "tatal" (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang
utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Dalam dakwah, ia punya pola
yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung
"sufistik berbasis salaf"
-bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan
kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya
lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya.
Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi.
Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya
kebiasaan lama hilang. Tidak mengherankan, ajaran Sunan Kalijaga terkesan
sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta
seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Beberapa lagu suluk
ciptaannya yang populer adalah Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul. Dialah
menggagas baju takwa, perayaan sekatenan, garebeg maulud,
serta lakon carangan
Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu ("Petruk Jadi Raja"). Lanskap
pusat kota
berupa kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini pula
dikonsep oleh Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat
efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga;
di antaranya adalah adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang.
–ooOoo–
Sunan Muria
(Raden Umar Said)
![Text Box:](file:///C:/Users/Toshiba/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/02/clip_image017.gif)
Nama Sunan Muria sendiri diperkirakan
berasal dari nama gunung (Gunung Muria), yang
terletak di sebelah utara kota
Kudus, Jawa Tengah, tempat dia dimakamkan.
Sunan Muria seringkali dijadikan
pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530),
Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun
rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua
pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga
sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom
dan Kinanti.
“Walisongo” berarti sembilan
orang wali. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan
Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan
Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu
sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam
hubungan guru-murid.
Maulana Malik Ibrahim adalah
yang tertua. Sunan Ampel adalah anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah
keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan
Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan
sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan
Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain,
kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.
Mereka tinggal di pantai utara
Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting.
Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah,
serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi
pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban
baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian,
kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Pesantren Ampel Denta dan Giri
adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri,
peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan
Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan
Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya
masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati
kaum jelata.
Era Walisongo adalah era
berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan
kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya
di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang
sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap
kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat
“sembilan wali” ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Masing-masing tokoh tersebut
mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik
Ibrahim yang menempatkan diri sebagai “tabib” bagi Kerajaan Hindu Majapahit;
Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai “paus dari Timur” hingga Sunan
Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat
dipahami masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan Budha.
–ooOoo–
Sunan Gunung
Jati
(Syarif Hidayatulloh)
![Text Box:](file:///C:/Users/Toshiba/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/02/clip_image019.gif)
Jamaluddin Akbar adalah seorang Muballigh dan Musafir besar dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai Syekh Maulana Akbar bagi kaum Sufi di tanah air.
Syekh Maulana Akbar
adalah putra Ahmad Jalal Syah putra Abdullah Khan putra Abdul Malik putra Alwi
putra Syekh Muhammad
Shahib Mirbath, ulama besar di Hadramaut, Yaman
yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah melalui cucu
beliau Imam Husain.
Silsilah
Sunan Gunung Jati/
Syarif Hidayatullah Al-Khan bin Sayyid 'Umadtuddin Abdullah Al-Khan bin Sayyid
'Ali Nuruddin Al-Khan/ 'Ali Nurul 'Alam Sayyid Syaikh Jumadil Qubro/ Jamaluddin
Akbar Al-Khan bin Sayyid Ahmad Shah Jalal/ Ahmad Jalaludin Al-Khan bin Sayyid
Abdullah Al-'Azhomatu Khan bin Sayyid Amir 'Abdul Malik Al-Muhajir
(Nasrabad,India) bin Sayyid Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut) bin Muhammad Sohib Mirbath
(Hadhramaut) Sayyid Ali Kholi' Qosim bin Sayyid Alawi Ats-Tsani bin Sayyid
Muhammad Sohibus Saumi'ah bin Sayyid Alawi Awwal bin Sayyid Al-Imam 'Ubaidillah
bin Ahmad al-Muhajir
bin Sayyid 'Isa Naqib Ar-Rumi bin Sayyid Muhammad An-Naqib bin Sayyid Al-Imam
Ali Uradhi bin Sayyidina Ja'far As-Sodiq bin Sayyidina Muhammad Al Baqir bin
Sayyidina 'Ali Zainal 'Abidin bin Al-Imam Sayyidina Hussain Al-Husain putera
Ali bin Abu Tholib dan Fatimah Az-Zahro binti Muhammad.
Silsilah
dari Raja Pajajaran
Sunan Gunung Jati/ Syarif
Hidayatullah Rara Santang (Syarifah Muda'im) Prabu Jaya Dewata/ Raden Pamanah
Rasa/Prabu Siliwangi II Prabu Dewa Niskala (Raja Galuh/Kawali) Niskala Wastu
Kancana/ Prabu Siliwangi I Prabu Linggabuana / Prabu Wangi (Raja yang tewas di
Bubat).
Ibu
Ibunda Syarif Hidayatullah
adalah Nyai
Rara Santang putri Prabu Siliwangi (dari Nyai Subang Larang) adik Pangeran Walangsungsang bergelar Cakrabuwana /
Cakrabumi atau Mbah Kuwu Cirebon Girang yang berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, seorang Muballigh asal Baghdad bernama asli Idhafi
Mahdi.
Makam Nyai Rara Santang bisa
kita temui di dalam komplek KLENTENG di Pasar Bogor , di sebelah Kebun Raya Bogor.
Pertemuan orang tuanya
Pertemuan Rara Santang dengan
Syarif Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar masih diperselisihkan. Sebagian
riwayat (lebih tepatnya mitos) menyebutkan bertemu pertama kali di Mesir,
tapi analisis yang lebih kuat atas dasar perkembangan Islam di pesisir ketika itu,
pertemuan mereka di tempat-tempat pengajian seperti yang di Majelis
Syekh Quro, Karawang (tempat belajar Nyai Subang Larang ibunda dari
Rara Santang) atau di Majelis
Syekh Kahfi, Cirebon (tempat belajar Kiyan Santang kakanda dari Rara
Santang).
Syarif Abdullah cucu Syekh
Mawlana Akbar, sangat mungkin terlibat aktif membantu pengajian di
majelis-majelis itu mengingat ayahanda dan kakek beliau datang ke Nusantara
sengaja untuk menyokong perkembangan agama Islam yang telah dirintis oleh para
pendahulu.
Pernikahan Rara Santang putri
Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang dengan Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar
melahirkan seorang putra yang diberi nama Raden Syarif Hidayatullah.
Perjalanan
Hidup
Raden Syarif Hidayatullah
mewarisi kecendrungan spiritual dari kakek buyutnya Syekh Mawlana Akbar
sehingga ketika telah selesai belajar agama di pesantren Syekh Kahfi beliau
meneruskan ke Timur Tengah. Tempat mana saja yang dikunjungi masih
diperselisihkan, kecuali (mungkin) Mekah dan Madinah karena ke 2 tempat itu wajib dikunjungi
sebagai bagian dari ibadah haji untuk umat Islam.
Babad Cirebon menyebutkan
ketika Pangeran Cakrabuwana membangun kota Cirebon dan tidak mempunyai pewaris, maka sepulang dari
Timur Tengah Raden Syarif Hidayat mengambil peranan mambangun kota
Cirebon dan menjadi pemimpin perkampungan Muslim
yang baru dibentuk itu setelah Uwaknya wafat.
Pernikahan
Memasuki usia dewasa sekitar
diantara tahun 1470-1480, beliau menikahi adik dari Bupati Banten ketika itu bernama
Nyai
Kawunganten. Dari pernikahan ini beliau mendapatkan seorang putri
yaitu Ratu Wulung Ayu
dan Mawlana
Hasanuddin yang kelak menjadi Sultan Banten I.
Kesultanan Demak
Masa ini kurang banyak diteliti
para sejarawan hingga tiba masa pendirian Kesultanan Demak tahun 1487 yang mana beliau
memberikan andil karena sebagai anggota dari Dewan Muballigh yang sekarang kita
kenal dengan nama Walisongo. Pada masa ini
beliau berusia sekitar 37 tahun kurang lebih sama dengan usia Raden Patah yang baru diangkat menjadi Sultan
Demak I bergelar Alam Akbar Al Fattah. Bila Syarif Hidayat keturunan Syekh
Mawlana Akbar Gujarat dari pihak ayah, maka Raden Patah adalah keturunan beliau
juga tapi dari pihak ibu yang lahir di Campa.
Dengan diangkatnya Raden Patah
sebagai Sultan di Pulau Jawa bukan hanya di Demak, maka Cirebon menjadi semacam
Negara Bagian bawahan vassal
state dari kesultanan Demak, terbukti dengan tidak adanya riwayat
tentang pelantikan Syarif Hidayatullah secara resmi sebagai Sultan Cirebon.
Hal ini sesuai dengan strategi
yang telah digariskan Sunan Ampel, Ulama yang paling di-tua-kan di Dewan
Muballigh, bahwa agama Islam akan disebarkan di P. Jawa dengan Kesultanan Demak
sebagai pelopornya.
Gangguan proses Islamisasi
Setelah pendirian Kesultanan
Demak antara tahun 1490 hingga 1518 adalah masa-masa paling sulit, baik bagi
Syarif Hidayat dan Raden Patah karena proses Islamisasi secara damai mengalami
gangguan internal dari kerajaan Pakuan dan Galuh
(di Jawa Barat) dan Majapahit (di Jawa Tengah
dan Jawa Timur) dan gangguan external dari Portugis yang telah mulai expansi di Asia
Tenggara.
Tentang personaliti dari Syarif
Hidayat yang banyak dilukiskan sebagai seorang Ulama kharismatik, dalam
beberapa riwayat yang kuat, memiliki peranan penting dalam pengadilan Syekh Siti Jenar pada tahun 1508 di pelataran
Masjid Demak. Beliau ikut membimbing Ulama berperangai ganjil itu untuk
menerima hukuman mati dengan lebih dulu melucuti ilmu kekebalan tubuhnya.
Eksekusi yang dilakukan Sunan
Kalijaga akhirnya berjalan baik, dan dengan wafatnya Syekh Siti Jenar, maka
salah satu duri dalam daging di Kesultana Demak telah tercabut.
Raja Pakuan di awal abad 16,
seiring masuknya Portugis di Pasai dan Malaka, merasa mendapat sekutu untuk
mengurangi pengaruh Syarif Hidayat yang telah berkembang di Cirebon dan Banten. Hanya Sunda Kelapa yang masih dalam kekuasaan Pakuan.
Di saat yang genting inilah
Syarif Hidayat berperan dalam membimbing Pati Unus dalam pembentukan armada gabungan
Kesultanan Banten, Demak, Cirebon di P. Jawa dengan misi utama mengusir
Portugis dari wilayah Asia Tenggara. Terlebih dulu Syarif Hidayat menikahkan
putrinya untuk menjadi istri Pati Unus yang ke 2 di tahun 1511.
Kegagalan expedisi jihad II
Pati Unus yang sangat fatal di tahun 1521 memaksa Syarif Hidayat merombak
Pimpinan Armada Gabungan yang masih tersisa dan mengangkat Tubagus
Pasai (belakangan dikenal dengan nama Fatahillah),untuk menggantikan Pati Unus yang
syahid di Malaka, sebagai Panglima berikutnya dan menyusun strategi baru untuk
memancing Portugis bertempur di P. Jawa.
Sangat kebetulan karena Raja
Pakuan telah resmi mengundang Armada Portugis datang ke Sunda Kelapa sebagai
dukungan bagi kerajaan Pakuan yang sangat lemah di laut yang telah dijepit oleh
Kesultanan Banten
di Barat dan Kesultanan Cirebon
di Timur.
Kedatangan armada Portugis
sangat diharapkan dapat menjaga Sunda Kelapa dari kejatuhan berikutnya karena
praktis Kerajaan Hindu Pakuan tidak memiliki lagi kota
pelabuhan di P. Jawa setelah Banten dan Cirebon
menjadi kerajaan-kerajaan Islam.
Tahun 1527
bulan Juni Armada Portugis datang dihantam serangan dahsyat dari Pasukan Islam
yang telah bertahun-tahun ingin membalas dendam atas kegagalan expedisi Jihad
di Malaka 1521.
Dengan ini jatuhlah Sunda
Kelapa secara resmi ke dalam Kesultanan Banten-Cirebon dan di rubah nama
menjadi Jayakarta dan Tubagus Pasai mendapat gelar
Fatahillah.
Perebutan pengaruh antara
Pakuan-Galuh dengan Cirebon-Banten segera bergeser kembali ke darat. Tetapi
Pakuan dan Galuh yang telah kehilangan banyak wilayah menjadi sulit menjaga
keteguhan moral para pembesarnya. Satu persatu dari para Pangeran, Putri Pakuan
di banyak wilayah jatuh ke dalam pelukan agama Islam. Begitu pula sebagian
Panglima Perangnya.
Perundingan Yang Sangat Menentukan
Satu hal yang sangat unik dari
personaliti Syarif Hidayat adalah dalam riwayat jatuhnya Pakuan Pajajaran, ibu
kota Kerajaan Sunda pada tahun 1568 hanya setahun sebelum
beliau wafat dalam usia yang sangat sepuh hampir 120 tahun (1569). Diriwayatkan
dalam perundingan terakhir dengan para Pembesar istana Pakuan, Syarif Hidayat
memberikan 2 opsi.
Yang pertama Pembesar Istana
Pakuan yang bersedia masuk Islam akan dijaga kedudukan dan martabatnya seperti
gelar Pangeran, Putri atau Panglima dan dipersilakan tetap tinggal di keraton
masing-masing. Yang ke dua adalah bagi yang tidak bersedia masuk Islam maka
harus keluar dari keraton masing-masing dan keluar dari ibukota Pakuan untuk
diberikan tempat di pedalaman Banten wilayah Cibeo
sekarang.
Dalam perundingan terakhir yang
sangat menentukan dari riwayat Pakuan ini, sebagian besar para Pangeran dan
Putri-Putri Raja menerima opsi ke 1. Sedang Pasukan Kawal Istana dan
Panglimanya (sebanyak 40 orang) yang merupakan Korps Elite dari Angkatan Darat
Pakuan memilih opsi ke 2. Mereka inilah cikal bakal penduduk Baduy Dalam
sekarang yang terus menjaga anggota pemukiman hanya sebanyak 40 keluarga karena
keturunan dari 40 pengawal istana Pakuan. Anggota yang tidak terpilih harus
pindah ke pemukiman Baduy Luar.
Yang menjadi perdebatan para
ahli hingga kini adalah opsi ke 3 yang diminta Para Pendeta Sunda Wiwitan. Mereka menolak opsi pertama dan
ke 2. Dengan kata lain mereka ingin tetap memeluk agama Sunda Wiwitan (aliran
Hindu di wilayah Pakuan) tetapi tetap bermukim di dalam wilayah Istana Pakuan.
Sejarah membuktikan hingga
penyelidikan yang dilakukan para Arkeolog asing ketika masa penjajahan Belanda,
bahwa istana Pakuan dinyatakan hilang karena tidak ditemukan sisa-sisa
reruntuhannya. Sebagian riwayat yang diyakini kaum Sufi menyatakan dengan
kemampuan yang diberikan Allah karena doa seorang Ulama yang sudah sangat sepuh
sangat mudah dikabulkan, Syarif Hidayat telah memindahkan istana Pakuan ke alam
ghaib sehubungan dengan kerasnya penolakan Para Pendeta Sunda Wiwitan untuk
tidak menerima Islam ataupun sekadar keluar dari wilayah Istana Pakuan.
Bagi para sejarawan beliau adalah peletak
konsep Negara Islam modern ketika itu dengan bukti berkembangnya Kesultanan
Banten sebagi negara maju dan makmur mencapai puncaknya 1650 hingga 1680 yang
runtuh hanya karena pengkhianatan seorang anggota istana yang dikenal dengan
nama Sultan
Haji.
Dengan segala jasanya umat Islam di Jawa
Barat memanggil beliau dengan nama lengkap Syekh Mawlana Syarif Hidayatullah
Sunan Gunung Jati Rahimahullah.
–ooOoo–
lah peletak
konsep Negara Islam modern ketika itu dengan bukti berkembangnya Kesultanan
Banten sebagi negara maju dan makmur mencapai puncaknya 1650 hingga 1680 yang
runtuh hanya karena pengkhianatan seorang anggota istana yang dikenal dengan
nama Sultan
Haji.
Dengan segala jasanya umat Islam di Jawa
Barat memanggil beliau dengan nama lengkap Syekh Mawlana Syarif Hidayatullah
Sunan Gunung Jati Rahimahullah. [ ]
–ooOoo–
Tidak ada komentar:
Posting Komentar