الفصل
السابع
فى الاشياء التى اذا
فسدت لها صلاة الامام يتعدى الفساد الى المامومين واتفقوا على انه اذا طرا عليه
الحديث في الصلاة فقطع ان صلاة المامومين ليست تفسد, واختلفوا اذا صلى بهم وهو جنب
وعلموا بذلك بعد الصلاة, فقال قوم : صلاتهم صحيحة, وقال قوم : صلاتهم فاسدة, وفرق
قوم بين ان يكون الامام عالما يحنابته او ناسيا لها, فقالوا ان كان عالما فسدت
صلاتهم, وان كان ناسيا لم تفسد صلاتهم, وبالاول قال الشافعى, وبالثانى قال ابو
حنفة, وبالثالث قالى مالك. وسبب اختلافهم هل صحة انعقاد صلاة الماموم مرتبطة بصحة
صلاة الامام ام ليست مرتبطة؟ فمن لم يرها مرتبطة قال : صلاتهم جائزة, ومن راها
مرتبطة قال : صلاتهم فاسدة, ومن فوق بين السهو والعبد قصد الى ظاهر الائر المتقدم
وهو, انه عليه الصلاة والسلام كبر فى صلاة من الصلاوات, ثم اشار اليهم ان امكثوا, فذهب
ثم رجع وعلى جسمه اثر الماء, فان ظاهر هذا انهم بنوا على صلاتهم, والشافعي يرى انه
لو كانت الصلاة مرتبطة للزم ان يبدء وابالصلاة مرة ثانية.
Musholla Nurul Hidayah
![Musholla Nurul Hidayah](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhLgBh8LtKFEm6b-fxf4jlqqseu73c2Vz3PcyQn-nJXUuERlKVPxrRJaZUswHkg5LI3g3cBNetVMPlXUGrXVGUP0lrWjEbTeEoJgt2hrrGpyhHSWOwDMmACWS4QZqeOdZhMpEv0r21NiA/s1600/MUSHOLLA.jpg)
Nurul Hidayah
Rabu, 20 November 2013
Selasa, 05 November 2013
Paman-paman Nabi Muhammad SAW
( Wafat 32 H)
Nama sebenarnya adalah Abbas bin Abdul Muthalib bin Hasyim, ia
adalah seorang paman Nabi Shallallahu alaihi wassalam, dengan nama panggilan
Abu Fadhel, ia termasuk pemukan Quraisy baik semasa jahililliyah maupun setelah
Islam, ia memeluk Islam sebelum Hijrah secara diam diam dan tetap berdiam di
Makkah guna dapat mengirimkan berita tentang kaum Musryikin kepada Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam.
Dia sempat mengikuti perang Hunain bersama Rasulullah dan
termasuk pertahanan yang paling kuat, ia ikut rombongan Anshar dalam Baiat
Akabah. Ia adalah paman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam dan salah
seorang yang paling akrab dihatinya dan yang paling dicintainya. Karena itu,
beliau senantiasa berkata menegaskan, “Abbas adalah saudara kandung ayahku.
Barangsiapa yang menyakiti Abbas sama dengan menyakitiku.“
Di zaman Jahiliah, ia mengurus kemakmuran Masjidil Haram dan
melayani minuman para jamaah haji. Seperti halnya ia akrab di hati Rasulullah,
Rasulullah pun dekat dengannya. Ia pemah menjadi pembantu dan penasihat
utamanya dalam bai’at al-Aqabah menghadapi kaum Anshar dari Madinah. Menurut
sejarah, ia dilahirkan tiga tahun sebelum kedatangan Pasukan Gajah yang hendak
menghancurkan Baitullah di Mekkah. Ibunya, Natilah binti Khabbab bin Kulaib,
adalah seorang wanita Arab pertama yang mengenakan kelambu sutra pada Baitullah
al-Haram.
Pada waktu Abbas masih anak-anak, ia pemah hilang. Sang ibu
lalu bernazar, kalau puteranya itu ditemukan, ia akan mengenakan kelambu sutra
pada Baitullah. Tak lama antaranya, Abbas ditemukan, maka iapun menepati
nazamya itu
Istrinya terkenal dengan panggilan Ummul Fadhal (ibu Si
Fadhal) karena anak sulungnya bernama al-Fadhal. Wajahnya tampan. Ia duduk
dibelakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau menunaikan
haji wada’-nya. Ia meninggal dunia di Syam karena bencana penyakit.
Anak-anaknya yang lain sebagai berikut ; yaitu anak kedua, Abdullah, seorang
ahli agama yang mendapat doa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
meninggal di Thaif. Ketiga, Qutsam, wajahnya mirip benar dengan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ia pergi berjihad ke negeri Khurasan dan
meninggal dunia di Samarkand. Keempat, Ma’bad, mati syahid di Afrika. Abdullah
(bukan Abdullah yang pertama), orangnya baik, kaya,dan murah hati meninggal
dunia di Madinah. Kelima, Puterinya, Ummu Habibah.
Para ulama berbeda keterangan tentang Islamnya Abbas. Ada yang
mengatakan, sesudah penaklukkan Khaibar. Ada yang mengatakan, lama sebelum
Perang Badar. Katamya, ia memberitakan kegiatan kaum musyrikin kepada Nabi di
Madinah, dan kaum muslimin yang ada di Mekkah banyak mendapat dukungan dari
beliau. Kabamya, ia pemah menyatakan keinginannya untuk hijrah ke Madinah, tapi
Rasulullah menyatakan, “engkau lebih baik tinggal di Mekah “.
Keterangan kedua ini dikuatkan oleh keterangan Abu Rafi’,
pembantu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Pada waktu itu, ketika aku
masih kanak-kanak, aku menjadi pembantu di rumah Abbas bin Abdul Muththalib.
Ternyata, pada waktu itu, Islam sudah masuk ke dalam rumah tangganya. baik
Abbas maupun Ummul Fadhal, keduanya sudah masuk Islam. Akan tetapi, Abbas takut
kaumnya mengetahui dan terpecah-belah, lalu ia menyembunyikan keislamannya.”
–ooOoo–
( Wafat 3 H)
Nama sebenarnya adalah Abdu Manaf bin Abdul Muthalib bin
Hasyim, sedang “Abu Thalib” adalah nama Panggilan yang berasal dari putra
pertamanya yaitu Thalib. Abu Thalib adalah paman dan ayah asuh Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam, Ia adalah ayah dari Ali bin Abi Thalib.
Abu Thalib telah menerima amanat dari ayahnya Abdul Mutthalib
untuk mengasuh Nabi dan telah dilaksanakan amanat tersebut. Nabi adalah
sebaik-baik asuhan dan Abu Thalib adalah sebaik-baik pengasuh.
Abu Thalib membela Nabi dengan jiwa raganya dalam berdakwah.
Ketika Nabi Shallallahu alaihi wassalam dan pengikutnya di hadang di sebuah
lembah. Lalu datanglah Abu Thalib dengan tegar berkata: “Kalian tidak akan
dapat menyentuh Muhammad sebelum kalian menguburkanku”. Abu Thalib selalu
setia mendampingi Nabi. Beliau adalah orang yang banyak membantu perjuangan
dakwah Islam.
Abu Thalib ketika mau meninggal dunia berwasiat kepada
keluarganya untuk selalu berada di belakang Nabi dan membelanya untuk
menenangkan dakwahnya.
Abu Thalib adalah pahlawan Bani Hasyim terkemuka dan pemimpin
mereka. Nabi mengajaknya masuk Islam tapi dia menolak.
Hadist Bukhari dalam Shahihnya, kitab tafsir No. 4675 dan
4772, Muslim 24, Dari Al Musayyib bin Hazn berkata, “Ketika Abu Thalib hampir
mati, Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam mengunjunginya dan mendapati Abu
Jahl dan Abdullah bin Abi Umayyah di sisi Abu Thalib. Lalu Rasulullah berkata,
”Wahai paman, ucapkan Laa Ilaha Illallah suatu kalimat yang aku akan
membelamu karena ucapan itu dihadapan Allah.”
Abu Jahl dan Abdullah bin Abi Umayyah berkata, “Apakah kamu
membenci agama Abdul Muthalib?” Beliau terus menerus menawarkan kepada
pamannya untuk mengucapkannya, tetapi kedua orang itu terus mengulang-ulang.
Hingga akhir ucapan Abu Thalib adalah tetap berada pada agama Abdul Muthalib
dan enggan mengucapkan Laa Ilaha Illallah. Rasulullah bersabda,
“Aku
benar-benar akan memintakan ampunan bagimu selama tidak dilarang “.
Lalu
Allah menurunkan ayat,
Tiadalah
sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang beriman memintakan ampun (kepada Allah)
bagi orang-orang musyrik, Walaupun ornag-orang musyrik itu adalah kaum kerabat
(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik adalah
penghuni neraka jahanam.
(At Taubah : 113).
Ayat ini diturunkan Allah berkenaan dengan Abu Tholib. Dan
Allah berfirman kepada Rasullulah
Sesungguhnya kamu tidak dapat memberi petunjuk kepada orang
yang kamu cintai, tetapi Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia
kehendaki. (Al-Qoshosh : 56).
Riwayat
lain: Dari Abu Hurairah, berkata ;
Rasulullah berkata pada pamannya, “ Ucapkan Laa Ilaaha
Illallah, aku akan bersaksi untukmu pada hari kiamat “, Abu Thalib
menjawab, “ Seandainya orang Quraisy tidak mencelaku dengan mengatakan “ Abu
Thalib mengucapkan itu karena hampir mati ”. Lalu Allah menurunkan ayat (At
Taubah : 113) kepada Rasulullah.
Dari Al Abbas bin Abdul Muthalib, berkata, “Wahai
Rasullulah, apakah engkau bisa memberi manfaat kepada Abu Thalib, sebab dia
dulu memeliharamu dan membelamu?” Jawab beliau, “Benar, dia berada di
neraka yang paling dangkal, kalau bukan karenaku niscaya dia berada di neraka
yang paling bawah.“ (HR. Bukhari no. 3883, 6208, 6572, Muslim 209)
Dari Abu Sa`id Al Khudri, berkata, Disebutkan disisi
Rasulullah pamannya Abu Thalib, maka beliau bersabda, ” Somoga syafa’atku
bermanfaat baginya kelak di hari kiamat. Karena itu dia ditempatkan di neraka
yang paling dangkal, api neraka mencapai mata kakinya lantaran itu otaknya
mendidih”. (HR.Bukhari 3885, 6564, Muslim 210)
Masih banyak riwayat lainnya yang menyatakan kekufuran Abu
Thalib pada saat menjelang kematian.
Ia
wafat pada tahun 3 SH.
Disalin dari riwayat Abu Thalib dalam Ishabah 1/117, Thabaqat Ibn
Sa’ad 1/24 dan sumber lainnya
–ooOoo–
( Wafat 3 H)
Nama sebenarnya Hamzah bin Abdul Muthalib bin Hasyim, seorang
paman Nabi dan saudara sepersusuannya. Dia memeluk Islam pada tahun kedua
kenabian, Ia Ikut Hijrah bersama Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam dan
ikut dalam perang Badar, dan meninggal pada saat perang Uhud, Rasulullah
menjulukinya dengan “Asadullah” (Singa Allah) dan menamainya sebagai “Sayidus
Syuhada”.
Ibnu Atsir berkata dalam kitab ‘Usud al Ghabah”, Dalam perang
Uhud, Hamzah berhasil membunuh 31 orang kafir Quraisy, sampai pada suatu saat
beliau tergelincir sehingga ia terjatuh kebelakang dan tersingkaplah baju
besinya, dan pada saat itu ia langsung ditombak dan dirobek perutnya . lalu
hatinya dikeluarkan oleh Hindun kemudian dikunyahnya hati Hamzah tetapi tidak
tertelan dan segera dimuntahkannya.
Ketika Rasulullah melihat keadaan tubuh pamannya Hamzah bin
Abdul Muthalib, Beliau sangat marah dan Allah menurunkan firmannya ,” Dan
jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan
siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah
yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar. (Qs; an Nahl 126)
Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq didalam kitab,” Sirah Ibnu Ishaq”
dari Abdurahman bin Auf bahwa Ummayyah bin Khalaf berkata kepadanya “ Siapakah
salah seorang pasukan kalian yang dadanya dihias dengan bulu bulu itu?”,
aku menjawab “Dia adalah Hamzah bin Abdul Muthalib”. Lalu Umayyah dberkata Dialah
yang membuat kekalahan kepada kami”.
Abdurahman bin Auf menyebutkan bahwa ketika perang Badar,
Hamzah berperang disamping Rasulullah dengan memegang 2 bilah pedang.
Diriwayatkan dari Jabir bahwa ketika Rasulullah shallallahu
alaihi wassalam melihat Hamzah terbunuh, maka beliau menagis.
Ia wafat pada tahun 3 H, dan Rasulullah Shallallahu alaihi
wasalam dengan “Sayidus Syuhada”.
Disalin dari riwayat Hamzah bin Abul Muthalib dalam Usud al Ghabah
Ibn Atsir, Sirah Ibn Ishaq. [ ]
KH Ma'ruf Irsyad
KH Ma’ruf Irsyad
Sosok yang Ikhlas dan Bersahaja
Selalu ikhlas dan
berlapang dada, sudah menjadi piawainya sejak kecil. Tidak pernah menolak
undangan dari masyarakat sekitar, adalah prinsipnya. Tak heran, jika namanya
selalu dikenang masyarakat, termasuk ilmu-ilmunya. Berikut laporan Muchammad.
Izzul Ma’aly, Wartawan Arwaniyyah Kudus.
Pepatah mengatakan, “Gajah
mati meninggalkan gading, Harimau mati meninggalkan belang, sementara manusia
mati meninggalkan nama.” Inilah KH. Ma’ruf Irsyad, tak sekadar meninggalkan
nama, tapi meninggalkan ilmu untuk masyarakat luas. Meski jasadnya kini telah
terkubur rapat di dalam tanah. Ajaran-ajaran dan namanya, hingga kini masih
terngiang di hati masyarakat.
Tanggal 22 Juli 2010,
pukul 10.50 WIB, menjadi momen penting bagi masyarakat Kudus, sekaligus momen
yang memilukan. Karena mereka harus rela melepas kepergian KH Ma’ruf Irsyad
untuk selamanya di usianya yang ke 73 tahun. Tak ada yang tahu, dan tak ada
yang dapat mencegah, ketika Malaikat Izrail sudah hadir di hadapan kita.
Ribuan pasang mata
menjadi sembab. Mengantar kepergiannya hingga ke peristirahatan terakhir.
Jasadnya bersemayam di makam Sidoluhur Krapyak, Kudus, berdampingan dengan
makam ayahandanya, KH Irsyad.
Sejak kecil, putera
pasangan KH Irsyad dan Hj Munijah ini, hidup dalam lingkungan sederhana. Hanya
berbekal kasih sayang Ibundanya (karena ditinggal wafat ayahnya sejak kecil),
Ma’ruf kecil memulai pendidikannya di SD Purwosari, Kudus. Karena sesuatu hal,
ia pindah ke SD Demangan, Kudus, sembari menimba ilmu agama kepada para kyai di
tanah kelahirannya.
Selepas dari SD, Ma’ruf
melanjutkan pendidikannya di Madrasah Tsanawiyyah (MTs) TBS (Tasywiquth
Thullab Salafiyyah) Kudus. Dan itu menjadi bangku sekolah formal terakhir
yang dienyamnya. Di sekolah yang terkenal dengan ilmu salahfnya itu, Pengasuh
Pondok Pesantren Raudlotul Muta’allimin ini mendapatkan ajaran ilmu salaf dari
beberapa kiyai. Diantaranya KH Arwani Amin, KH Ma’mun Ahmad, dan KH Hambali.
Selepas dari MTs TBS,
Ma’ruf remaja tak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, karena kondisi
ekonomi yang tidak memungkinkan. Namun, kondisi tersebut tak membuatnya putus
semangat, ia tetap berbesar hati bahwa ilmu tak hanya bersumber dari sekolah
formal. Justru ayah dari enam anak ini, sewaktu muda menimba ilmu dari satu
kiyai ke kiyai yang lain. Tak heran, jika ilmunya selalu bertambah.
Ikhlas dan Bersahaja
Ikhlas dan bersahaja
dalam menjalani hidup, sudah diajarkan orang tuanya sejak kecil. Tak heran,
jika seamasa hidupnya, kiyai yang dikenal dengan kesabarannya ini, lebih
memilih hidup sederhana daripada harus memperlihatkan kemewahannya. Kendati
demikian, tak seorang pun yang menganggap rendah dan merendahkannya. Semua
orang menghormatinya. Bahkan, kalau boleh berkata, siapa yang tak kenal beliau.
Hampir berbagai lapisan masyarakat, dari santri, priyayi, hingga para habaib di
Kudus, mengenalnya dengan baik. Itulah yang membuat besan KH Abdul Basyir ini
tak pernah absen ketika ada undangan pengajian atau hajatan dari masyarakat
sekitar.
Dengan ditemani sepeda
kumbang, Kiyai Ma’ruf menjalani aktifitasnya dengan sangat disiplin. Mulai dari
mengajar, dakwah, hingga memenuhi undangan. Pernah suatu kali ditegur oleh sang
istri, Hj Salamah, agar tidak terus-terusan naik sepeda. “Mbok jangan
naik sepeda terus, kan bisa nyuruh santri antar-jemput". Tapi beliau
selalu beralasan kalau bersepeda untuk berolahraga, agar badan tetap sehat dan
tidak sakit-sakitan. Kasihan juga merepotkan orang lain, disuruh antar-jemput
segala,” kenang Hj Salamah sembari menirukan ucapan suami tercintanya.
Dalam kehidupan
sehari-hari, Kiyai yang berkediaman di Desa Langgardalem, Kecamatan Kota, Kudus
ini sangat gemar bermasyarakat. Seperti tak ada sekat antara kiyai dan
masyarkat biasa. Pandai bergurau, dan mengenakan pakaian sepantasnya, membuatnya
mudah akrab dengan lawan bicaranya.
Sifat ramah dan tidak pernah menolak undangan dari
siapapun, dimanapun dan kapanpun pula yang membuatnya akrab dengan masyarakat
sekitar. Selagi mampu, kapanpun undangan itu akan dipenuhi. Tidak jarang dalam
sehari bisa memenuhi undangan lebih dari tiga kali, itupun beliau bagi dengan
rata. “Jadi kalau tidak mendapat bagian mengisi mauidhoh (ceramah), ya
cukup tahlil, doa penutup, bahkan pembawa acara pun beliau penuhi,” certita ibu
enam anak ini.
Karena sambung Salamah, beliau tidak mau membuat
kecewa masyarakat yang mengundanganya. Meski sebentar, yang penting semua dapat
dihadiri, agar yang bersangkutan merasa senang atas kehadiran beliau.
Gemar Mengaji dan Berdakwah
Semasa kecil hingga menjelang akhir hayat, KH Ma’ruf
Irsyad tidak pernah berhenti belajar, meski jumlah santrinya mencapai ribuan.
Masa muda adalah masa keemasan untuk mengejar semua cita-cita. Mengaji dan
mengaji, dilakukan tanpa kenal lelah. Meski tidak pernah hidup dalam ruang
pesantren, Kiyai Ma’ruf tak merasa kecil hati. Bahkan, kesederhanannya itu yang
membuatnya selalu bersemangat untuk terus mencari ilmu hingga di akhir
hayatnya.
Ketekunan dan keikhlasannya dalam belajar,
membuatnya dikenal dan di sayang okeh para gurunya. Termasuk Kyai Sirojuddin,
ulama asal Kabupaten Pati yang mengajarkan Kitab Bukhori di Masjid Kaujon
setiap Jum’at pagi, yang diselenggarakan oleh Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ (NU).
Berkat ketekunannya, ia dipercaya untuk meneruskan pengajian Kitab Bukhori,
setelah Kyai Sirojuddin wafat.
Melihat ketekunan itu, ayahandanya pernah memintanya
untuk membantu kakak iparnya, KH. Rif’an, untuk mengajar Pesantren abahnya,
yakni di Pondok Pesantren Roudlotul Muta’allimin (PPRM). Di sela-sela waktu
mengajar, Ma’ruf juga meluangkan waktu untuk belajar kepada kakak iparnya.
Selain berdakwah melalui majlis ta’lim, alumni MTs
TBS ini juga mengajar di Madrasah Qudsiyyah Menara Kudus. Selang beberapa waktu
kemudian, dia mendapat tawaran untuk mengajar di TBS menggantikan KH Hambali,
karena meninggal dunia. Berawal dari situ, beberapa madrasah lainnya,
memintanya untuk menjadi salah satu guru di madrasahnya. Diantaranya MA NU
Mu’allimat, MA NU Banat Kudus, dan Madrasah Diniyyah Mu’awanatul Muslimin.
Semua dilakukan dengan ikhlas tanpa pamrih. Tidak pernah sekalipun minta
diantar-jemput oleh pihak madrasah, dan sepeda kumbang menjadi teman sejatinya
menularkan ilmu hingga kondisinya benar-benar tidak sanggup lagi mengayuh
sepeda tua itu.
Nasib tak akan kemana, jika hati sudah ikhlas.
Berkat dedikasinya di Qudsiyyah, Kiyai Ma’ruf diangkat menjadi Pegawai Negeri
Sipil (PNS), yang ketika itu berkonsentrasi di UGA (Urusan Agama). Tawaran itu
diterima untuk mememenuhi kebutuhan keluarga. Di samping itu, untuk beramal
kepada Madrasah Qudsiyyah. Karena dengan gaji PNS, ia tidak mau lagi diberi
gaji dari pihak Madrasah Qudsiyyah.
Nampaknya embel-embel PNS yang melekat pada baju
dinasnya, tidak bertahan lama, karena dia harus mengundurkan diri. “Waktu itu
kan pemerintah mengharuskan PNS mengikuti salah satu Partai Politik. Beliau
merasa kurang cocok sehingga secepatnya mengundurkan diri,” jelas Nyai Salamah
saat ditemui dikediamannya beberapa waktu lalu.
Pengalaman menjadi PNS, merupakan pertama dan
terakhir kali baginya. Berawal dari pengalaman itu, Kiyai Ma’ruf tak ingin lagi
menjadi PNS, tidak mau lagi mengejar duniawi yang berlebihan. Menjadi guru di
madrasah tanpa menyandang predikat PNS menjadi pilihannya, karena itu dirasa
lebih cukup dan barokah, dibanding ketika menjadi PNS.
Majlis yang diasuh
Dipanggilnya KH Ma’ruf Irsyad ke rahmatullah untuk
selamanya itu, membawa duka yang sangat dalam bagi keluarga, masyarakat, dan
para santrinya. Sosok guru yang ikhlas dan kharismatik itu, kini tinggal
kenangan. Berbagai majlis pengajian baik di pesantren maupun di Masjid-masjid,
yang semula dipimpin oleh kakek 14 cucu ini, kini digantikan oleh para menantu
dan orang-orang terdekanya. Para menantu yang menggantikan pengajiannya antara
lain Ustadz Masfu’i, Ustadz Basith Al-Hafidz (Putera dari KH. Qodir Janggalan),
Guz Jazuli (putera KH. Basyir Bareng) dan Ustadz Fikri. Selain
menantunya ada juga KH Kustur Faiz, KH Ahmadi A. Fatah, Ustadz H Durrun Nafis
serta para kiyai dan asatidz yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Sebelum wafat, suami Hj Salamah ini menulis secarik
surat berisi wasiat penting. “Aku pesan, kepada anak-anakku dan istriku
setiap hari harus membaca surah Al-fatihah 1x dan Al-ikhlas 3x,” begitu
kiranya pesan yang ditinggalkan oleh Kiyai Ma’ruf. Dan pesan inilah yang
selalu dijaga oleh istri dan anak-anak beliau.
Sehingga, kepulangan Yai Ma’ruf kehadirat Allah SWT,
hanyalah jasadnya. Namun ruh serta ajaran beliau masih dan akan terus menyertai
kehidupan kita semua. Meski Kudus telah kehilangan mutiara yang sangat
berharga, nama beliau akan tetap terjaga untuk selamanya. Dan semoga akan
tumbuh lagi sosok Ma’ruf yang ikhlas, bersahaja dan kharismatik di masa depan
kelak. Selamat jalan Mbah Yai. [ ]
Senin, 04 November 2013
Ulama' Tasawuf ikut Imam Syafi'i
Syeikh Abdul Qadir Al
Jilani
(470H-561H)
Syeikh Abdul Qadir Al
Jailani adalah seorang ‘alim di Baghdad. Biografi
beliau dimuat dalam Kitab Adz Dzail ‘Ala Thabaqil Hanabilah I/301-390, nomor 134, karya Imam Ibnu Rajab Al Hambali. Buku ini belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
beliau dimuat dalam Kitab Adz Dzail ‘Ala Thabaqil Hanabilah I/301-390, nomor 134, karya Imam Ibnu Rajab Al Hambali. Buku ini belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Imam Ibnu Rajab
menyatakan bahwa Syeikh Abdul Qadir Al
Jilani lahir pada tahun 490/471 H di kota Jailan atau disebut juga dengan
Kailan. Sehingga diakhir nama beliau ditambahkan kata Al Jailani atau Al
Kailani atau juga Al Jiliy. Wafat pada hari Sabtu malam, setelah maghrib,
pada tanggal 9 Rabi’ul Akhir tahun 561 H di daerah Babul Azaj. Beliau
meninggalkan tanah kelahiran, dan merantau ke Baghdad pada saat beliau masih muda. Di Baghdad belajar kepada beberapa orang ulama’ seperti Ibnu Aqil,Abul Khatthat, Abul Husein Al Farra’ dan juga Abu Sa’ad Al Muharrimi.
Jilani lahir pada tahun 490/471 H di kota Jailan atau disebut juga dengan
Kailan. Sehingga diakhir nama beliau ditambahkan kata Al Jailani atau Al
Kailani atau juga Al Jiliy. Wafat pada hari Sabtu malam, setelah maghrib,
pada tanggal 9 Rabi’ul Akhir tahun 561 H di daerah Babul Azaj. Beliau
meninggalkan tanah kelahiran, dan merantau ke Baghdad pada saat beliau masih muda. Di Baghdad belajar kepada beberapa orang ulama’ seperti Ibnu Aqil,Abul Khatthat, Abul Husein Al Farra’ dan juga Abu Sa’ad Al Muharrimi.
Beliau belajar sehingga
mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga
perbedaan-perbedaan pendapat para ulama’. Suatu ketika Abu Sa’ad Al
Mukharrimi membangun sekolah kecil-kecilan di daerah yang bernama Babul
Azaj. Pengelolaan sekolah ini diserahkan sepenuhnya kepada Syeikh Abdul
Qadir Al Jailani. Beliau mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh.
Bermukim disana sambil memberikan nasehat kepada orang-orang yang ada
tersebut. Banyak sudah orang yang bertaubat demi mendengar nasehat beliau. Banyak orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang ke sekolah beliau. Sehingga sekolah itu tidak kuat menampungnya. Maka, diadakan perluasan.
perbedaan-perbedaan pendapat para ulama’. Suatu ketika Abu Sa’ad Al
Mukharrimi membangun sekolah kecil-kecilan di daerah yang bernama Babul
Azaj. Pengelolaan sekolah ini diserahkan sepenuhnya kepada Syeikh Abdul
Qadir Al Jailani. Beliau mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh.
Bermukim disana sambil memberikan nasehat kepada orang-orang yang ada
tersebut. Banyak sudah orang yang bertaubat demi mendengar nasehat beliau. Banyak orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang ke sekolah beliau. Sehingga sekolah itu tidak kuat menampungnya. Maka, diadakan perluasan.
Murid-murid beliau
banyak yang menjadi ulama’ terkenal. Seperti Al Hafidz Abdul Ghani yang
menyusun kitab Umdatul Ahkam Fi Kalami Khairil Anam. Juga Syeikh Qudamah
penyusun kitab figh terkenal Al Mughni.
Syeikh Ibnu Qudamah
rahimahullah ketika ditanya tentang Syeikh Abdul Qadir, beliau menjawab, ” kami
sempat berjumpa dengan beliau di akhir masa
kehidupannya. Beliau menempatkan kami di sekolahnya. Beliau sangat perhatian terhadap kami. Kadang beliau mengutus putra beliau yang bernama Yahya untuk menyalakan lampu buat kami. Beliau senantiasa menjadi imam dalam shalat fardhu.” Syeikh Ibnu Qudamah sempat tinggal bersama beliau selama satu bulan sembilan hari. Kesempatan ini digunakan untuk belajar kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani sampai beliau meninggal dunia. 1) Beliau adalah seorang ‘alim. Beraqidah Ahlu Sunnah, mengikuti jalan Salafush Shalih. Dikenal banyak memiliki karamah-karamah. Tetapi banyak (pula) orang yang
membuat-buat kedustaan atas nama beliau. Kedustaan itu baik berupa
kisah-kisah, perkataan-perkataan, ajaran-ajaran, “thariqah” yang berbeda
dengan jalan Rasulullah, para sahabatnya, dan lainnya. Diantara perkataan
Imam Ibnu Rajab ialah, ” Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah seorang yang
diagungkan pada masanya. Diagungkan oleh banyak para syeikh, baik ‘ulama dan para ahli zuhud. Beliau banyak memiliki keutamaan dan karamah. Tetapi ada seorang yang bernama Al Muqri’ Abul Hasan Asy Syathnufi Al Mishri (orang Mesir ) mengumpulkan kisah-kisah dan keutamaan-keutamaan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam tiga jilid kitab.
kehidupannya. Beliau menempatkan kami di sekolahnya. Beliau sangat perhatian terhadap kami. Kadang beliau mengutus putra beliau yang bernama Yahya untuk menyalakan lampu buat kami. Beliau senantiasa menjadi imam dalam shalat fardhu.” Syeikh Ibnu Qudamah sempat tinggal bersama beliau selama satu bulan sembilan hari. Kesempatan ini digunakan untuk belajar kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani sampai beliau meninggal dunia. 1) Beliau adalah seorang ‘alim. Beraqidah Ahlu Sunnah, mengikuti jalan Salafush Shalih. Dikenal banyak memiliki karamah-karamah. Tetapi banyak (pula) orang yang
membuat-buat kedustaan atas nama beliau. Kedustaan itu baik berupa
kisah-kisah, perkataan-perkataan, ajaran-ajaran, “thariqah” yang berbeda
dengan jalan Rasulullah, para sahabatnya, dan lainnya. Diantara perkataan
Imam Ibnu Rajab ialah, ” Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah seorang yang
diagungkan pada masanya. Diagungkan oleh banyak para syeikh, baik ‘ulama dan para ahli zuhud. Beliau banyak memiliki keutamaan dan karamah. Tetapi ada seorang yang bernama Al Muqri’ Abul Hasan Asy Syathnufi Al Mishri (orang Mesir ) mengumpulkan kisah-kisah dan keutamaan-keutamaan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam tiga jilid kitab.
Dia telah menulis perkara-perkara
yang aneh dan besar (kebohongannya). Cukuplah seorang itu berdusta, jika dia
menceritakan yang dia dengar. Aku telah melihat sebagian kitab ini, tetapi
hatiku tidak tentram untuk beregang dengannya, sehingga aku meriwayatkan apa
yang ada di dalamnya. Kecuali kisah-kisah yang telah mansyhur dan terkenal dari
selain kitab ini. Karena kitab ini banyak berisi riwayat dari orang-orang yang
tidak dikenal. Juga terdapat perkara-perkara yang jauh ( dari agama dan akal ),
kesesatan-kesesatan, dakwaan-dakwaan dan perkataan yang batil tidak berbatas.
semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani
rahimahullah. Kemudian aku dapatkan bahwa Al Kamal Ja’far Al Adfwi telah
menyebutkan, bahwa Asy Syath-nufi sendiri tertuduh berdusta atas kisah-kisah
yang diriwayatkannya dalam kitab ini.” Imam Ibnu Rajab juga berkata, ” Syeikh
Abdul Qadir Al Jailani rahimahullah memiliki pendapat memiliki pendapat yang
bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu ma’rifat
yang sesuai dengan sunnah. Beliau memiliki kitab Al Ghunyah Li Thalibi Thariqil
Haq, kitab yang terkenal.
Beliau juga mempunyai
kitab Futuhul Ghaib. Murid-muridnya
mengumpulkan perkara-perkara yang berkaitan dengan nasehat dari
majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya, ia
berpegang dengan sunnah. Beliau membantah dengan keras terhadap orang-orang yang menyelisihi sunnah .” Syeikh Abdul Qadir Al Jailani menyatakan dalam kitabnya, Al Ghunyah, ” Dia ( Allah ) di arah atas, berada diatas ‘arsyNya, meliputi seluruh kerajaanNya. IlmuNya meliputi segala sesuatu.” Kemudian beliau menyebutkan ayat-ayat dan hadist-hadist, lalu berkata ” Sepantasnya menetapkan sifat istiwa’ ( Allah berada diatas ‘arsyNya ) tanpa takwil (menyimpangkan kepada makna lain ). Dan hal itu merupakan istiwa’ dzat Allah diatas arsys.”6) Ali bin Idris pernah bertanya kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, ” Wahai tuanku, apakah Allah memiliki wali ( kekasih ) yang tidak berada di atas aqidah ( Imam ) Ahmad bin Hambal?” Maka beliau menjawab, “Tidak pernah ada dan tidak akan ada.
mengumpulkan perkara-perkara yang berkaitan dengan nasehat dari
majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya, ia
berpegang dengan sunnah. Beliau membantah dengan keras terhadap orang-orang yang menyelisihi sunnah .” Syeikh Abdul Qadir Al Jailani menyatakan dalam kitabnya, Al Ghunyah, ” Dia ( Allah ) di arah atas, berada diatas ‘arsyNya, meliputi seluruh kerajaanNya. IlmuNya meliputi segala sesuatu.” Kemudian beliau menyebutkan ayat-ayat dan hadist-hadist, lalu berkata ” Sepantasnya menetapkan sifat istiwa’ ( Allah berada diatas ‘arsyNya ) tanpa takwil (menyimpangkan kepada makna lain ). Dan hal itu merupakan istiwa’ dzat Allah diatas arsys.”6) Ali bin Idris pernah bertanya kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, ” Wahai tuanku, apakah Allah memiliki wali ( kekasih ) yang tidak berada di atas aqidah ( Imam ) Ahmad bin Hambal?” Maka beliau menjawab, “Tidak pernah ada dan tidak akan ada.
Perkataan Syeikh Abdul
Qadir Al Jailani tersebut juga dinukilkan oleh
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Al Istiqamah I/86. Semua itu
menunjukkan kelurusan aqidahnya dan penghormatan beliau terhadap manhaj
Salaf.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Al Istiqamah I/86. Semua itu
menunjukkan kelurusan aqidahnya dan penghormatan beliau terhadap manhaj
Salaf.
Sam’ani berkata, ”
Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah penduduk kota
Jailan. Beliau seorang Imam bermadzhab Hambali. Menjadi guru besar madzhab ini pada masa hidup beliau.”
Jailan. Beliau seorang Imam bermadzhab Hambali. Menjadi guru besar madzhab ini pada masa hidup beliau.”
Imam Adz Dzahabi
menyebutkan biografi Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam Siyar A’lamin Nubala,
dan menukilkan perkataan Syeikh sebagai berikut,”Lebih dari lima ratus orang
masuk Islam lewat tanganku, dan lebih dari seratus ribu orang telah bertaubat.”
Imam Adz Dzahabi
menukilkan perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan Syeikh Abdul Qadir yang
aneh-aneh sehingga memberikan kesan seakan-akan beliau mengetahui hal-hal yang
ghaib. Kemudian mengakhiri perkataan, “ Intinya Syeikh Abdul Qadir memiliki
kedudukan yang agung. Tetapi terdapat kritikan-kritikan terhadap sebagian perkataannya
dan Allah menjanjikan (ampunan atas kesalahan-kesalahan orang beriman ).
Namun sebagian perkataannya merupakan kedustaan atas nama beliau.”( Siyar
XX/451 ).
Imam Adz Dzahabi juga
berkata, ” Tidak ada seorangpun para kibar masyasyeikh yang riwayat hidup dan
karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak diantara
riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi “.
Syeikh Rabi’ bin Hadi
Al Madkhali berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil, hal.136, ” Aku telah
mendapatkan aqidah beliau ( Syeikh Abdul Qadir Al Jailani ) didalam
kitabnya yang bernama Al Ghunyah. Maka aku mengetahui dia sebagai seorang
Salafi. Beliau menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan aqidah-aqidah
lainnya di atas manhaj Salaf. Beliau juga membantah kelompok-kelompok Syi’ah,
Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya dengan manhaj
Salaf.
Inilah tentang beliau
secara ringkas. Seorang ‘alim Salafi, Sunni, tetapi
banyak orang yang menyanjung dan membuat kedustaan atas nama beliau.
Sedangkan beliau berlepas diri dari semua kebohongan itu. Wallahu a’lam
bishshawwab.
banyak orang yang menyanjung dan membuat kedustaan atas nama beliau.
Sedangkan beliau berlepas diri dari semua kebohongan itu. Wallahu a’lam
bishshawwab.
Kesimpulannya beliau
adalah seorang ‘ulama besar. Apabila sekarang ini
banyak kaum muslimin menyanjung-nyanjungnya dan mencintainya, maka suatu
kewajaran. Bahkan suatu keharusan. Akan tetapi kalau meninggi-ninggikan
derajat beliau di atas Rasulullah , maka hal ini merupakan kekeliruan.
Karena Rasulullah adalah rasul yang paling mulia diantara para nabi dan
rasul. Derajatnya tidak akan terkalahkan disisi Allah oleh manusia manapun.
banyak kaum muslimin menyanjung-nyanjungnya dan mencintainya, maka suatu
kewajaran. Bahkan suatu keharusan. Akan tetapi kalau meninggi-ninggikan
derajat beliau di atas Rasulullah , maka hal ini merupakan kekeliruan.
Karena Rasulullah adalah rasul yang paling mulia diantara para nabi dan
rasul. Derajatnya tidak akan terkalahkan disisi Allah oleh manusia manapun.
Adapun sebagian kaum
muslimin yang menjadikan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani sebagai wasilah (
perantara ) dalam do’a mereka. Berkeyakinan bahwa do’a seseorang tidak akan
dikabulkan oleh Allah, kecuali dengan perantaranya. Ini juga merupakan
kesesatan. Menjadikan orang yang meningal sebagai perantara, maka tidak ada
syari’atnya dan ini diharamkan. Apalagi kalau ada orang yang berdo’a kepada
beliau. Ini adalah sebuah kesyirikan besar. Sebab do’a merupakan salah satu
bentuk ibadah yang tidak diberikan kepada selain Allah. Allah melarang
mahluknya berdo’a kepada selain Allah,
Dan sesungguhnya
mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah.
Maka janganlah kamu menyembah
seseorang pun di dalamnya
Disamping ( menyembah )
Allah.
( QS. Al-Jin : 18 )
Jadi sudah menjadi
keharusan bagi setiap muslim untuk memperlakukan para ‘ulama dengan sebaik
mungkin, namun tetap dalam batas-batas yang telah ditetapkan syari’ah.
Akhirnya mudah-mudahan
Allah senantiasa memberikan petunjuk kepada kita sehingga tidak tersesat dalam
kehidupan yang penuh dengan fitnah ini.
Wallahu a’lam bishshawab.
Sumber:
Ø Siyar A’lamin Nubala XX/442
Ø Nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Yusuf bin
Jarir Al Lakh-mi Asy
Syath-Nufi. Lahir di Kairo tahun 640 H, meninggal tahun 713 H. Dia dituduh
berdusta dan tidak bertemu dengan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani.
Syath-Nufi. Lahir di Kairo tahun 640 H, meninggal tahun 713 H. Dia dituduh
berdusta dan tidak bertemu dengan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani.
Ø Seperti kisah Syeikh Abdul Qadir
menghidupkan ayam yang telah mati,
dan sebagainya.
dan sebagainya.
Ø Nama lengkapnya ialah Ja’far bin Tsa’lab bin
Ja’far bin Ali bin
Muthahhar bin Naufal Al Adfawi. Seoarang ‘ulama bermadzhab Syafi’i.
Dilahirkan pada pertengahan bulan Sya’ban tahun 685 H. Wafat tahun 748 H diKairo. Biografi beliau dimuat oleh Al Hafidz di dalam kitan Ad Durarul
Kaminah, biografi nomor 1452.
Muthahhar bin Naufal Al Adfawi. Seoarang ‘ulama bermadzhab Syafi’i.
Dilahirkan pada pertengahan bulan Sya’ban tahun 685 H. Wafat tahun 748 H diKairo. Biografi beliau dimuat oleh Al Hafidz di dalam kitan Ad Durarul
Kaminah, biografi nomor 1452.
Ø Dinukil dari kitab At Tashawwuf Fii Mizanil
Bahtsi Wat Tahqiq, hal.
509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar,Cet. II, 8 Dzulqa’dah 1415 H / 8 April 1995 M
509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar,Cet. II, 8 Dzulqa’dah 1415 H / 8 April 1995 M
Ø At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq,
hal. 515.
Ø At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq,
hal. 516.
Ø Lihat kitab Al-Ghunyah I/83-94.
Ø At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq,
hal. 509, karya Syeikh Abdul
Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa’dah
1415 H / 8 April 1995 M.
Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa’dah
1415 H / 8 April 1995 M.
IMAM AN-NAWAWI
(
630H-676H)
Beliau adalah Yahya bin
Syaraf bin Hasan bin Husain An-Nawawi Ad-Dimasyqiy, Abu Zakaria. Beliau
dilahirkan pada bulan Muharram tahun 631 H di Nawa, sebuah kampung di daerah
Dimasyq (Damascus) yang sekarang merupakan ibukota Suriah. Beliau dididik oleh
ayah beliau yang terkenal dengan kesalehan dan ketakwaan. Beliau mulai belajar
di katatib (tempat belajar baca tulis untuk anak-anak) dan hafal Al-Quran
sebelum menginjak usia baligh.
Ketika berumur sepuluh
tahun, Syaikh Yasin bin Yusuf Az-Zarkasyi melihatnya dipaksa bermain oleh
teman-teman sebayanya, namun ia menghindar, menolak dan menangis karena paksaan
tersebut. Syaikh ini berkata bahwa anak ini diharapkan akan menjadi orang
paling pintar dan paling zuhud pada masanya dan bisa memberikan manfaat yang
besar kepada umat Islam. Perhatian ayah dan guru beliaupun menjadi semakin
besar.
An-Nawawi tinggal di
Nawa hingga berusia 18 tahun. Kemudian pada tahun 649 H ia memulai rihlah
thalabul ilmi-nya ke Dimasyq dengan menghadiri halaqah-halaqah ilmiah yang
diadakan oleh para ulama kota tersebut. Ia tinggal di madrasah Ar-rawahiyyah di
dekat Al-Jami’ Al-Umawiy. Jadilah thalabul ilmi sebagai kesibukannya
yang utama. Disebutkan bahwa ia menghadiri dua belas halaqah dalam sehari. Ia
rajin sekali dan menghafal banyak hal. Ia pun mengungguli teman-temannya yang
lain. Ia berkata: “Dan aku menulis segala yang berhubungan dengannya, baik
penjelasan kalimat yang sulit maupun pemberian harakat pada kata-kata. Dan
Allah telah memberikan barakah dalam waktuku.” [Syadzaratudz Dzahab
5/355].
Diantara syaikh beliau:
Abul Baqa’ An-Nablusiy, Abdul Aziz bin Muhammad Al-Ausiy, Abu Ishaq Al-Muradiy,
Abul Faraj Ibnu Qudamah Al-Maqdisiy, Ishaq bin Ahmad Al-Maghribiy dan Ibnul
Firkah. Dan diantara murid beliau: Ibnul ‘Aththar Asy-Syafi’iy, Abul Hajjaj
Al-Mizziy, Ibnun Naqib Asy-Syafi’iy, Abul ‘Abbas Al-Isybiliy dan Ibnu ‘Abdil
Hadi.
Pada tahun 651 H ia
menunaikan ibadah haji bersama ayahnya, kemudian ia pergi ke Madinah dan
menetap disana selama satu setengah bulan lalu kembali ke Dimasyq. Pada tahun
665 H ia mengajar di Darul Hadits Al-Asyrafiyyah (Dimasyq) dan menolak untuk
mengambil gaji.
Beliau digelari Muhyiddin
(yang menghidupkan agama) dan membenci gelar ini karena tawadhu’
beliau. Disamping itu, agama islam adalah agama yang hidup dan kokoh, tidak
memerlukan orang yang menghidupkannya sehingga menjadi hujjah atas orang-orang
yang meremehkannya atau meninggalkannya. Diriwayatkan bahwa beliau berkata: “Aku
tidak akan memaafkan orang yang menggelariku Muhyiddin.”
Imam An-Nawawi adalah
seorang yang zuhud, wara’ dan bertaqwa. Beliau sederhana, qana’ah dan
berwibawa. Beliau menggunakan banyak waktu beliau dalam ketaatan. Sering tidak
tidur malam untuk ibadah atau menulis. Beliau juga menegakkan amar ma’ruf nahi
munkar, termasuk kepada para penguasa, dengan cara yang telah digariskan Islam.
Beliau menulis surat berisi nasehat untuk pemerintah dengan bahasa yang halus
sekali. Suatu ketika beliau dipanggil oleh raja Azh-Zhahir Bebris untuk
menandatangani sebuah fatwa. Datanglah beliau yang bertubuh kurus dan
berpakaian sangat sederhana. Raja pun meremehkannya dan berkata:
“Tandatanganilah fatwa ini!!” Beliau membacanya dan menolak untuk membubuhkan
tanda tangan. Raja marah dan berkata: “Kenapa !?” Beliau menjawab: “Karena
berisi kedhaliman yang nyata.” Raja semakin marah dan berkata: “Pecat ia dari
semua jabatannya!” Para pembantu raja berkata: “Ia tidak punya jabatan sama
sekali.” Raja ingin membunuhnya tapi Allah menghalanginya. Raja ditanya:
“Kenapa tidak engkau bunuh dia padahal sudah bersikap demikian kepada Tuan?”
Raj apun menjawab: “Demi Allah, aku sangat segan padanya.”
Imam Nawawi
meninggalkan banyak sekali karya ilmiah yang terkenal. Jumlahnya sekitar empat
puluh kitab, diantaranya:
- Dalam bidang hadits: Arba’in, Riyadhush Shalihin, Al-Minhaj (Syarah Shahih Muslim), At-Taqrib wat Taysir fi Ma’rifat Sunan Al-Basyirin Nadzir.
- Dalam bidang fiqih: Minhajuth Thalibin, Raudhatuth Thalibin, Al-Majmu’.
- Dalam bidang bahasa: Tahdzibul Asma’ wal Lughat.
- Dalam bidang akhlak: At-Tibyan fi Adab Hamalatil Qur’an, Bustanul Arifin, Al-Adzkar.
Kitab-kitab ini dikenal secara luas termasuk oleh
orang awam dan memberikan manfaat yang besar sekali untuk umat. Ini semua tidak
lain karena taufik dari Allah Ta’ala, kemudian keikhlasan dan kesungguhan
beliau dalam berjuang.
Secara umum beliau termasuk salafi dan berpegang teguh
pada manhaj ahlul hadits, tidak terjerumus dalam filsafat dan berusaha
meneladani generasi awal umat dan menulis bantahan untuk ahlul bid’ah yang
menyelisihi mereka. Namun beliau tidak ma’shum (terlepas dari
kesalahan) dan jatuh dalam kesalahan yang banyak terjadi pada uluma-ulama di
zaman beliau yaitu kesalahan dalam masalah sifat-sifat Allah Subhanah. Beliau
kadang men-ta’wil dan kadang-kadang tafwidh. Orang yang
memperhatikan kitab-kitab beliau akan mendapatkan bahwa beliau bukanlah muhaqqiq
dalam bab ini, tidak seperti dalam cabang ilmu yang lain. Dalam bab ini beliau
banyak mendasarkan pendapat beliau pada nukilan-nukilan dari para ulama tanpa
mengomentarinya.
Adapun memvonis Imam Nawawi sebagai Asy’ari, itu tidak
benar karena beliau banyak menyelisihi mereka (orang-orang Asy’ari) dalam
masalah-masalah aqidah yang lain seperti ziyadatul iman dan khalqu
af’alil ‘ibad. Karya-karya beliau tetap dianjurkan untuk dibaca dan
dipelajari, dengan berhati-hati terhadap kesalahan-kesalahan yang ada. Tidak
boleh bersikap seperti kaum Haddadiyyun yang membakar kitab-kitab karya beliau
karena adanya beberapa kesalahan di dalamnya.
Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa kerajaan
Saudi ditanya tentang aqidah beliau dan menjawab: “Lahu aghlaath fish
shifat” (Beliau memiliki beberapa kesalahan dalam bab sifat-sifat Allah).
Imam Nawawi meninggal pada 24 Rajab 676 H
-rahimahullah wa ghafara lahu
Sumber:
Lihat biografi beliau di
Tadzkiratul Huffazh 4/1470, Thabaqat
Asy-Syafi’iyyah Al-Kubra 8/395, dan Syadzaratudz Dzahab 5/354
IMAM AS-SUYUTHI
(849-911 H)
Nama lengkapnya adalah Abdurrahman bin Abi Bakar bin
Muhammad bin Saabiquddien bin al-Fakhr Utsman bin Nashiruddien Muhammad bin
Saifuddin Khadhari bin Najmuddien Abi ash-Shalaah Ayub ibn Nashiruddien
Muhammad bin asy-Syaich Hammamuddien al-Hamman al-Khadlari al-Asyuuthi. Lahir
ba’da Maghrib, hari Ahad malam, bulan Rajab tahun 849 Hijriyah, yakni enam
tahun sebelum bapaknya wafat.
Asal Usul Beliau
Jalaluddien as-Suyuthi berasal dari lingkungan
cendekiawan sejak kecilnya. Bapaknya berusaha mengarahkannya ke arah kelurusan
dan keshalihan. Adalah beliau hafal al-Qur’an di usianya yang sangat dini dan
selalu diikutkan bapaknya di berbagai majlis ilmu dan berbagai majlis qadhinya.
Dan bapaknya telah memintakan kepada Imam Ibnu Hajar
al-‘Asqalani supaya mendo’akannya diberi berkah dan taufiq. Dan adalah bapaknya
melihat dalam diri anaknya seperti yang didapati dalam diri Ibnu Hajar, hingga
ketika beliau minum, sebagian diberikan kepada anaknya dan mendo’akannya agar
ia seperti Ibnu Hajar, menjadi ulama yang trampil dan tokoh penghafal (hadits).
Bapaknya wafat saat ia (imam Suyuthi) baru berumur lima tahun tujuh bulan.
Tetapi Allah telah memeliharanya dengan taufiq dari-Nya dan mengasuhnya dengan
asuhan-Nya. Ini terbukti dengan telah ditakdirkan Allah Ta’ala untuknya
al-‘Allamah Kamaaluddien bin Humam al-Hanafi pengarang Fathul Qadir untuk
menjadi guru asuhnya. Hingga hafal al-Qur’an dalam umur delapan tahun, kemudian
menghafal kitab al-’Umdah lalu Minhajul Fiqhi dan Ushul, serta Alfiyah Ibnu
Malik. Dan mulai menyibukkan diri dengan (menggeluti) ilmu pada tahun 864 H,
yakni ketika berumur 15 tahun.
Menimba ilmu Fiqih dari Syaikh Siraajuddien
al-Balqini. Bahkan mulazamah kepada beliau hingga wafatnya. Kemudian mulazamah
kepada anak beliau, dan menyimak banyak pelajaran darinya seperti al-Haawi
ash-Shaghir, al-Minhaaj, syarah al-Minhaaj dan ar-Raudhah. Belajar Faraidl dari
syaikh Sihaabuddien Asy-Syaarmasaahi, dan mulazamah kepada asy-Syari al-Manaawi
Abaaz Kuriya Yahya bin Muhammad, kakak dari Abdurrauf pensyarah al-Jami’
ash-Shaghir. Kemudian menimba ilmu bahasa Arab dan ilmu Hadits kepada
Taqiyuddien asy-Syamini al-Hanafi (872 H). Lalu mulazamah kepada syaikh
Muhyiddien Muhammad bin Sulaiman ar-Ruumi al-Hanafi selama 14 tahun. Dari
beliau ia menimba ilmu tafsir, ilmu Ushul, ilmu bahasa Arab dan ilmu Ma’ani.
Juga berguru kepada Jalaaluddien al-Mahilli (864 H) dan ‘Izzul Kinaani Ahmad
bin Ibrahim al-Hanbali. Dan membaca shahih Muslim, asy-Syifa, Alfiyah Ibnu
malik dan penjelasaannya pada Syamsu as-Sairaami.
Imam Suyuthi tidak mau meninggalkan satu cabang ilmu
pun kecuali ia berusaha untuk mempelajarinya, seperti ilmu hitung dan ilmu
faraidl dari Majid bin as-Sibaa’ dan Abudl Aziz al-Waqaai, serta ilmu
kedokteran kepada Muhammad bin Ibrahim ad-Diwwani ar-Ruumi. Hal ini sesuai dan
didukung oleh keadaan waktu itu di mana dia dapat menimba ilmu dari banyak
syaikh. Ia tidak pernah merasa cukup dengan ilmu yang telah dimilikinya, baik
ilmu bahasa maupun ilmu dien, demikian pula ia tidak merasa cukup dengan para
ulama yang telah ia temui.
Bahkan ia bepergian jauh sekedar untuk mencari ilmu
dan riwayat hadits, hingga ke negeri Maghribi (Tanjung Harapan, sebelah ujuh
barat pulau Afrika), ke Yaman, India, Syam Mahallah (di Mesir Barat), Diimath
(sebuah kota di tepi sungai Nil, Mesir), dan Fayyum (Mesir) serta negeri-negeri
Islam lainnya. Telah menunaikan ibadah Hajji dan telah minum air Zam-zam dengan
harapan supaya dapat seperti Syaich al-Balqini dalam menguasi ilmu Fiqih serta
dapat seperti Ibnu Hajar dalam menguasai ilmu Hadits.
Demikianlah imam yang mulia ini, mengadakan perjalanan
yang tidak tanggung-tanggung dengan segala kesusahannya hanya untuk dapat
menimba ilmu. Banyak sekali gurunya. Bahkan disebutkan oleh syaikh Abdul Wahhab
asy-Sya’rani dalam kitab Thabaqat bahwa gurunya lebih dari 600-an orang.
Sesuai dengan banyaknya syaikh dan jauhnya
perjalanannya dalam menimba ilmu, hal itu didukung pula oleh kemampuannya untuk
semaksimal mungkin dalam memanfaatkan perpustakaan Madrasah Mahmudiyah. Berkata
al-Maqrizi, bahwa di dalam perpustakaan ini terdapat segala jenis kitab-kitab
Islam, dan madrasah ini merupakan sebaik-baik madrasah yang ada, yang
dinisbatkan kepada Mahmud bin al-Astadaar, yang berdirinya pada tahun 897 H.
Dan kitab-kitab yang ada tersebut merupakan kitab yang paling lengkap dari yang
ada sekarang di Qahirah (Cairo), yang merupakan koleksi dari Burhan Ibn Jama’ah
dan kemudian dibeli oleh Mahmud al-Astadaar dengan uang warisannya setelah ia
wafat dan kemudian ia waqafkan.
Hingga matanglah kepribadian Suyuthi, dan sempurnalah
pembentukan ilmunya pada taraf syarat mampu untuk berijtihad. Beliau seorang
yang mudah mengerti, kuat hafalannya, dianugerahi Allah dengan otak yang
cerdas, disamping itu beliau adalah seorang yang ‘abid (ahli ibadah), zuhud,
tawadlu’. Tidak mau menerima hadiah raja. Pernah ia diberi hadiah raja Ghuuri
seorang budak perempuan dan uang banyak sebesar seribu dinar. Maka
dikembalikannya uang itu sedangkan budak perempuan itu dimerdekakannya dan
menjadikannya sebagai pelayan di hujrah Nabawi. Lalu ia berkata kepada sang
penguasa itu, “Jangan berusaha memalingkan hanya dengan memberi hadiah semacam
itu karena Allah telah menjadikan aku merasa tidak butuh dari hal-hal semacam
itu.”
Oleh karena itu beliau rahimahullah dikenal sebagai
seorang yang berani tapi beradab, semangat dalam menegakkan hukum-hukum
syari’at dan mengamalkannya tanpa memihak kepada seorang pun. Tidak takut dalam
kebenaran celaan orang yang mencela. Ia telah diminta untuk memberikan fatwa
serta urusan-urusan yang bersangkutan dengan kehakiman, maka beliau tetap berusaha
untuk adil dan menerapkan hukum-hukum dien tanpa memperdulikan kemarahan Umara’
maupun penguasa. Bahkan jika ia melihat ada Qadhi (hakim) yang menta’wilkan
hukum sesuai dengan kehendak penguasa, bertujuan menjilat mereka maka beliau
menentangnya dan menyatakan pengingkarannya serta cuci tangan darinya.
Menerangkan kesalahannya, dan meluruskannya, seperti yang dikemukakannya dalam
kitab “al-Istinshaar bil Wahid al-Qahhar.” Beliau terlalu disibukkan dengan
memberi pelajaran dan berfatwa sampai umur 40 tahun, kemudian beliau lebih
mengkhususkan untuk beribadah dan mengarang kitab. Dan karangan imam Suyuthi
rahimahullah lebih dari 500 buah karangan. Berkata imam Suyuthi, “Kalau
seandainya aku mau maka aku mampu untuk menyusun kitab yang membahas setiap
masalah dengan segala teori dan dalil-dalil yang kami nukil, qiyasnya,
keterangannya, bantahan-bantahannya, jawaban-jawabannya, muwazanahnya antara
perselisihan berbagai madzhab tentang masalah itu, dengan fadhilah Allah, tidak
dengan daya dan kemampuanku. Karena sesungguhnya tidak ada kekuatan kecuali
dari Allah.”
Kitab-Kitabnya
Adapun kitab-kitab yang disusun oleh imam Suyuthi rahimahullah
antara lain sebagai berikut:
- Al-Itqaan fi ‘Uluumil Qur’an
- Ad-Durrul Mantsuur fit Tafsiril Ma’tsuur
- Tarjumaan al-Qur’an fit Tafsir
- Israaru at-Tanziil atau dinamakan pula dengan Qathful Azhaar fi Kasyfil Asraar
- Lubaab an-Nuqul fi Asbaabi an-Nuzuul
- Mifhamaat al-Aqraan fi Mubhamaat al-Qur’an
- Al-Muhadzdzab fiima waqa’a fil Qur’an minal Mu’arrab
- Al-Ikllil fi istimbaath at-Tanziil
- Takmilatu Tafsiir asy-Sayich Jalaaluddien al-Mahilli
- At-Tahiir fi ‘Uluumi Tafsir
- Haasyiyah ‘ala Tafsiri al-Baidlawi
- Tanaasuq ad-Duraru fi Tanaasub as-Suwari
- Maraashid al-Mathaali fi Tanaasub al-Maqaathi’ wal Mathaali’
- Majma’u al-Bahrain wa Mathaali’u al-Badrain fi at-Tafsir.
- Mafaatihu al Ghaib fi at-Tafsiir
- Al-Azhaar al-Faaihah ‘alal Fatihah
- Syarh al-Isti’adzah wal Kasmalah
- Al-Kalaam ‘ala Awalil Fathi
- Syarh asy-Syathibiyah
- Al-Alfiyah fil Qara’at al ‘asyri
- Khimaayal az-Zuhri fi Fadla’il as-Suwari
- Fathul Jalil li ‘Abdi Adz Dzalil fil Anwa’il Badi’ah al- Mustakhrijah min Qaulihi Ta’ala: Allaahu Waliyyulladziina aamanu
- al-Qaul al-Fashih Fi Ta’yiini adz-Dzabiih
- al-Yadul Bustha fi as-Shalaatil Wustha
- Mu’tarakul Aqraan Fi musykilaatil Qur’an
Semua itu judul-judul buku yang berkenaan dengan
Tafsir, adapun yang berkenaan dengan ilmu hadits, antara lain adalah sebagai
berikut:
1.
Ainul
Ishaabah Fi Ma’rifati ash-Shahaabah
2.
Durru
ash-Shahaabah Fi man Dakhala Mishra Minash Shahaabah
3.
Husnul
Muhaadlarah
4.
Riihu
an-Nisriin Fi man ‘Aasya Minash Shahaabah Mi ata Wa ‘isyriin
5.
Is’aaful
Mubtha’ bi Rijaalil Muwaththa’
6.
Kasyfu
at-Talbiis ‘an Qalbi Ahli Tadliis
7.
Taqriibul
Ghariib
8.
al-Madraj
Ila al-Mudraj
9.
Tadzkirah
al-Mu’tasi Min Hadits Man haddatsa wa nasiy
10. Asmaa`ul Mudallisiin
11. al-Luma’ Fi Asmaa`i Man Wadla’
12. ar-Raudlul Mukallal Wa Waradul Mu’allal fi
al-mushthalah
Wafatnya
Imam as-Suyuthi rahimahullah wafat pada hari Jum’at,
malam tanggal 19 Jumadal Ula tahun 911 H. Sebelumnya beliau menderita sakit
selama tujuh hari dan akhirnya wafat dalam umur 61 tahun. Dikuburkan di
pemakaman Qaushuun atau Qaisun di Cairo.
Sumber:
Kitab
adriib ar-Raawi Fi Syarh Taqriib an-Nawawy karya as-Suyuthy
IBNU HAJAR AL
‘ASQOLANI
(773-852H)
Nama dan Nasabnya
Nama sebenarnya
Syihabuddin Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin
Mahmud bin Hajar, al Kinani, al ‘Asqalani, asy Syafi’i, al Mishri. Kemudian
dikenal dengan nama Ibnu Hajar, dan gelarnya “al Hafizh”. Adapun penyebutan
‘Asqalani adalah nisbat kepada ‘Asqalan’, sebuah kota yang masuk dalam wilayah
Palestina, dekat Ghuzzah.
Kelahirannya
Beliau lahir di Mesir
pada bulan Sya’ban 773 H, namun tanggal kelahirannya diperselisihkan. Beliau
tumbuh di sana dan termasuk anak yatim piatu, karena ibunya wafat ketika beliau
masih bayi, kemudian bapaknya menyusul wafat ketika beliau masih kanak-kanak
berumur empat tahun.
Ketika wafat, bapaknya
berwasiat kepada dua orang ‘alim untuk mengasuh Ibnu Hajar yang masih bocah
itu. Dua orang itu ialah Zakiyuddin al Kharrubi dan Syamsuddin Ibnul Qaththan
al Mishri.
Perjalanan Ilmiah
Ibnu Hajar
Perjalanan hidup al
Hafizh sangatlah berkesan. Meski yatim piatu, semenjak kecil beliau memiliki
semangat yang tinggi untuk belajar. Beliau masuk kuttab (semacam Taman
Pendidikan al Qur’an) setelah genap berusia lima tahun. Hafal al Qur’an ketika
genap berusia sembilan tahun. Di samping itu, pada masa kecilnya, beliau
menghafal kitab-kitab ilmu yang ringkas, sepeti al ‘Umdah, al Hawi ash Shagir,
Mukhtashar Ibnu Hajib dan Milhatul I’rab.
Semangat dalam menggali
ilmu, beliau tunjukkan dengan tidak mencukupkan mencari ilmu di Mesir saja,
tetapi beliau melakukan rihlah (perjalanan) ke banyak negeri. Semua itu
dikunjungi untuk menimba ilmu. Negeri-negeri yang pernah beliau singgahi dan
tinggal disana, di antaranya:
1.
Dua tanah
haram, yaitu Makkah dan Madinah. Beliau tinggal di Makkah al Mukarramah dan
shalat Tarawih di Masjidil Haram pada tahun 785 H. Yaitu pada umur 12 tahun.
Beliau mendengarkan Shahih Bukhari di Makkah dari Syaikh al Muhaddits (ahli
hadits) ‘Afifuddin an-Naisaburi (an-Nasyawari) kemudian al-Makki Rahimahullah.
Dan Ibnu Hajar berulang kali pergi ke Makkah untuk melakukah haji dan umrah.
2.
Dimasyq
(Damaskus). Di negeri ini, beliau bertemu dengan murid-murid ahli sejarah dari
kota Syam, Ibu ‘Asakir Rahimahullah. Dan beliau menimba ilmu dari Ibnu Mulaqqin
dan al Bulqini.
3.
Baitul
Maqdis, dan banyak kota-kota di Palestina, seperti Nablus, Khalil, Ramlah dan
Ghuzzah. Beliau bertemu dengan para ulama di tempat-tempat tersebut dan
mengambil manfaat.
4.
Shana’ dan
beberapa kota di Yaman dan menimba ilmu dari mereka.
Semua ini, dilakukan
oleh al Hafizh untuk menimba ilmu, dan mengambil ilmu langsung dari ulama-ulama
besar. Dari sini kita bisa mengerti, bahwa guru-guru al Hafizh Ibnu Hajar al
‘Asqlani sangat banyak, dan merupakan ulama-ulama yang masyhur. Bisa dicatat, seperti:
‘Afifuddin an-Naisaburi (an-Nasyawari) kemudian al-Makki (wafat 790 H),
Muhammad bin ‘Abdullah bin Zhahirah al Makki (wafat 717 H), Abul Hasan al
Haitsami (wafat 807 H), Ibnul Mulaqqin (wafat 804 H), Sirajuddin al Bulqini
Rahimahullah (wafat 805 H) dan beliaulah yang pertama kali mengizinkan al
Hafizh mengajar dan berfatwa. Kemudian juga, Abul-Fadhl al ‘Iraqi (wafat 806 H)
–beliaulah yang menjuluki Ibnu Hajar dengan sebutan al Hafizh, mengagungkannya
dan mempersaksikan bahwa Ibnu Hajar adalah muridnya yang paling pandai dalam
bidang hadits-, ‘Abdurrahim bin Razin Rahimahullah –dari beliau ini al Hafizh
mendengarkan shahih al Bukhari-, al ‘Izz bin Jama’ah Rahimahullah, dan beliau
banyak menimba ilmu darinya. Tercatat juga al Hummam al Khawarizmi Rahimahullah.
Dalam mengambil ilmu-ilmu bahasa arab, al Hafizh belajar kepada al Fairuz Abadi
Rahimahullah, penyusun kitab al Qamus (al Muhith-red), juga kepada Ahmad bin
Abdurrahman Rahimahullah. Untuk masalah Qira’atus-sab’ (tujuh macam bacaan al
Qur’an), beliau belajar kepada al Burhan at-Tanukhi Rahimahullah, dan
lain-lain, yang jumlahnya mencapai 500 guru dalam berbagai cabang ilmu,
khususnya fiqih dan hadits.
Jadi, al Hafizh Ibnu
Hajar al Asqalani mengambil ilmu dari para imam pada zamannya di kota Mesir,
dan melakukakan rihlah (perjalanan) ke negeri-negeri lain untuk menimba ilmu,
sebagaimana kebiasaan para ahli hadits.
Layaknya sebagai
seorang ‘alim yang luas ilmunya, maka beliau juga kedatangan para thalibul
‘ilmi (para penuntut ilmu, murid-red) dari berbagai penjuru yang ingin
mengambil ilmu dari beliau, sehingga banyak sekali murid beliau. Bahkan
tokoh-tokoh ulama dari berbagai madzhab adalah murid-murid beliau. Yang
termasyhur misalnya, Imam ash-shakhawi (wafat 902 H), yang merupakan murid
khusus al Hafizh dan penyebar ilmunya, kemudian al Biqa’i (wafat 885 H),
Zakaria al-Anshari (wafat 926 H), Ibnu Qadhi Syuhbah (wafat 874 H), Ibnu Taghri
Bardi (wafat 874 H), Ibnu Fahd al-Makki (wafat 871 H), dan masih banyak lagi
yang lainnya.
Karya-Karyanya
Kepakaran al Hafizh
Ibnu Hajar sangat terbukti. Beliau mulai menulis pada usia 23 tahun, dan terus
berlanjut sampai mendekti ajalnya. Beliau mendapatkan karunia Allah Ta’ala di
dalam karya-karyanya, yaitu keistimewaan-keistimewaan yang jarang didapati pada
orang lain. Oleh karena itu, karya-karya beliau banyak diterima umat islam dan
tersebar luas, semenjak beliau masih hidup. Para raja dan amir biasa saling
memberikan hadiah dengan kitab-kitab Ibnu hajar Rahimahullah. Bahkan sampai
sekarang, kita dapati banyak peneliti dan penulis bersandar pada karya-karya
beliau Rahimahullah.
Di antara karya beliau
yang terkenal ialah: Fathul Baari Syarh Shahih Bukhari, Bulughul Marom min
Adillatil Ahkam, al Ishabah fi Tamyizish Shahabah, Tahdzibut Tahdzib, ad
Durarul Kaminah, Taghliqut Ta’liq, Inbaul Ghumr bi Anbail Umr dan lain-lain.
Bahkan menurut
muridnya, yaitu Imam asy-Syakhawi, karya beliau mencapai lebih dari 270 kitab.
Sebagian peneliti pada zaman ini menghitungnya, dan mendapatkan sampai 282
kitab. Kebanyakan berkaitan dengan pembahasan hadits, secara riwayat dan
dirayat (kajian).
Mengemban Tugas
Sebagai Hakim
Beliau terkenal
memiliki sifat tawadhu’, hilm (tahan emosi), sabar, dan agung. Juga dikenal
banyak beribadah, shalat malam, puasa sunnah dan lainnya. Selain itu, beliau
juga dikenal dengan sifat wara’ (kehati-hatian), dermawan, suka mengalah dan
memiliki adab yang baik kepada para ulama pada zaman dahulu dan yang kemudian,
serta terhadap orang-orang yang bergaul dengan beliau, baik tua maupun muda.
Dengan sifat-sifat yang beliau miliki, tak heran jika perjalanan hidupnya
beliau ditawari untuk menjabat sebagai hakim.
Sebagai contohya, ada
seorang hakim yang bernama Ashadr al Munawi, menawarkan kepada al Hafizh untuk
menjadi wakilnya, namu beliau menolaknya, bahkan bertekad untuk tidak menjabat
di kehakiman. Kemudian, Sulthan al Muayyad Rahimahullah menyerahkan kehakiman
dalam perkara yang khusus kepada Ibnu Hajar Rahimahullah. Demikian juga hakim
Jalaluddin al Bulqani Rahimahullah mendesaknya agar mau menjadi wakilnya.
Sulthan juga menawarkan kepada beliau untuk memangku jabatan Hakim Agung di
negeri Mesir pada tahun 827 H. Waktu itu beliau menerima, tetapi pada akhirnya
menyesalinya, karena para pejabat negara tidak mau membedakan antara orang
shalih dengan lainnya. Para pejabat negara juga suka mengecam apabila keinginan
mereka ditolak, walaupun menyelisihi kebenaran. Bahkan mereka memusuhi orang
karena itu. Maka seorang hakim harus berbasa-basi dengan banyak fihak sehingga
sangat menyulitkan untuk menegakkan keadilan.
Setelah satu tahun,
yaitu tanggal 7 atau 8 Dzulqa’idah 828 H, akhirnya beliau mengundurkan diri.
Pada tahun ini pula,
Sulthan memintanya lagi dengan sangat, agar beliau menerima jabatan sebagai
hakim kembali. Sehingga al Hafizh memandang, jika hal tersebut wajib bagi
beliau, yang kemudian beliau menerima jabatan tersebut tanggal 2 rajab.
Masyarakatpun sangat bergembira, karena memang mereka sangat mencintai beliau.
Kekuasaan beliau pun ditambah, yaitu diserahkannya kehakiman kota Syam kepada
beliau pada tahun 833 H.
Jabatan sebagai hakim,
beliau jalani pasang surut. Terkadang beliau memangku jabatan hakim itu, dan
terkadang meninggalkannya. Ini berulang sampai tujuh kali. Penyebabnya, karena
banyaknya fitnah, keributan, fanatisme dan hawa nafsu.
Jika dihitung, total
jabatan kehakiman beliau mencapai 21 tahun. Semenjak menjabat hakim Agung.
Terakhir kali beliau memegang jabatan hakim, yaitu pada tanggal 8 Rabi’uts
Tsani 852 H, tahun beliau wafat.
Selain kehakiman, beliau juga memilki
tugas-tugas:
1.
Berkhutbah
di Masjid Jami’ al Azhar.
2.
Berkhutbah
di Masjid Jami’ ‘Amr bin al Ash di Kairo.
3.
Jabatan
memberi fatwa di Gedung Pengadilan.
Di tengah-tengah
mengemban tugasnya, beliau tetap tekun dalam samudra ilmu, seperti mengkaji dan
meneliti hadits-hadits, membacanya, membacakan kepada umat, menyusun
kitab-kitab, mengajar tafsir, hadits, fiqih dan ceramah di berbagai tempat,
juga mendiktekan dengan hafalannya. Beliau mengajar sampai 20 madrasah. Banyak
orang-orang utama dan tokoh-tokoh ulama yang mendatanginya dan mengambil ilmu
darinya.
Kedudukannya
Ibnu Hajar Rahimahullah
menjadi salah satu ulama kebanggaan umat, salah satu tokoh dari kalangan ulama,
salah satu pemimpin ilmu. Allah Ta’ala memberikan manfaat dengan ilmu yang
beliau miliki, sehingga lahirlah murid-murid besar dan disusunnya kitab-kitab.
Seandainya kitab beliau
hanya Fathul Bari, cukuplah untuk meninggikan dan menunjukkan keagungan
kedudukan beliau. Karena kitab ini benar-benar merupakan kamus Sunnah Nabi
Shallallahu ‘alaii wasallam. Sedangkan karya beliau berjumlah lebih dari 150
kitab.
Syaikh al Albani
Rahimahullah mengatakan, Adalah merupakan kedzaliman jika mengatakan mereka
(yaitu an-Nawawi dan Ibnu Hajar al ‘Asqalani) dan orang-orang semacam mereka
termasuk ke dalam golongan ahli bid’ah. Menurut Syaikh al Albani, meskipun
keduanya beraqidah Asy’ariyyah, tetapi mereka tidak sengaja menyelisihi al
Kitab dan as Sunnah. Anggapan mereka, aqidah Asy’ariyyah yang mereka warisi itu
adalah dua hal: Pertama, bahwa Imam al Asy’ari mengatakannya, padahal beliau
tidak mengatakannya, kecuali pada masa sebelumnya, (lalu beliau tinggalkan dan
menuju aqidah Salaf,). Kedua, mereka menyangka sebagai kebenaran, padahal
tidak.
Wafatnya
Ibnu Hajar wafat pada
tanggal 28 Dzulhijjah 852 H di Mesir, setelah kehidupannya dipenuhi dengan ilmu
yang bermanfaat dan amal shalih, menurut sangkaan kami, dan kami tidak memuji
di hadapan Allah terhadap seorangpun. Beliau dikuburkan di Qarafah ash-Shugra.
Semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat yang luas, memaafkan dan
mengampuninya dengan karunia dan kemurahanNya.
Kitab al Ajwibah al
Mufidah min As’ilah al manahij al Jadidah, Kitab Fathul Bari ,Abdul ‘Aziz bin Baaz.
Ibnu
Hajar Al Haitami
(909–974 H)
Nama lengkap beliau
adalah Syihabuddin Ahmad bin Hajar al Haitami, Lahir di Mesir tahun 909 H. dan
wafat di Mekkah tahun 974H. Pada waktu kecil beliau diasuh oleh dua orang
Syeikh, yaitu Syeikh.Syihabuddin Abul Hamail dan Syeikh Syamsuddin as
Syanawi. Pada usia 14 tahun beliau dipindahkan belajar masuk Jami’ Al Azhar.
Pada Unirnersitas Al Azhar beliau belajar kepada Syeikhul Islam Zakariya al
Anshari dan lain-lain.
Kitab.kitab karangan beliau banyak sekali,
diaantaranya:
1.
Kitab
Tuhfatul Muhtaj al Syarhil Minhaj (10 jilid besar), sebuah kitab fiqih dalam
Madzhab Syafi’i yang sampai saat ini dipakai dalam sekolah-sekolah Tinggi Islam
di seluruh dunia, khususnya di Indonesia. Kitab ini setaraf dengan kitab
Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj (8 jilid besar) karangan Imam Ramli (wafat
1004 H). Kedua dua kitab ini adalah tiang tengah dari Madzhab Syafi’i, tempat
kembali bagi Ulama-ulama Syafi’iyah dalam masalah-masalah agama di Indonesia
pada waktu ini
2.
Kitab
fiqih Fathul Jawad.
3.
Kitab
fiqih al Imdad
4.
Kitab
fiqih al Fatawi.
5.
Kitab
fiqih al ‘Ubad.
6.
Kitab
Fatawi al Haditsiyah.
7.
itab Az Zawajir,
frgtirafil Kabaair.
8.
As
Syawa’iqul Muhriqah Firradi al az Zindiqah.
9.
Dan banyak
lagi yang lainnya.
Perlu drperingatkan
kepada pembaca bahwa dalam lingkungan Ulama-ulama Syafi’iyah, terkenal dua
orang Ibnu Hajar, yaitu :
a.
Ibnu Hajar
al ‘Asqalani (wafat 852 H.) pengarang kitab Fathul Bari a’l Syarhil Bukhari dan
kitab hadits Bulugul Maram dll.
b.
Ibnu Hajar
al Haitami (wafat 974H.), pengarang kitab Tuhfah yang kita bicarakan sekarang
ini.
Tetapi yang sangat
terkemuka di bidang fikih di antara dua orang Ulama Ibnu Hajar ini, adalah Ibnu
Hajar al Haitami karena Ibnu Hajar al ‘Asqalani lebih banyak kesibukannya dalam
ilmu hadits daripada ilmu fiqih.
Sumber:
Sejarah dan Keagungan
Madzab Syafi’i, karangan KH. Siradjuddin Abbas, Pustaka Tarbiyah, 1994.
IBNU KATSIR
(701-774H)
Nama lengkapnya adalah
Abul Fida’, Imaduddin Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurasyi al-Bushrawi
ad-Dimasyqi, lebih dikenal dengan nama Ibnu Katsir. Beliau lahir pada tahun 701
H di sebuah desa yang menjadi bagian dari kota Bashra di negeri Syam. Pada usia
4 tahun, ayah beliau meninggal sehingga kemudian Ibnu Katsir diasuh oleh
pamannya. Pada tahun 706 H, beliau pindah dan menetap di kota Damaskus.
Riwayat
Pendidikan
Ibn Katsir tumbuh besar
di kota Damaskus. Di sana, beliau banyak menimba ilmu dari para ulama di kota
tersebut, salah satunya adalah Syaikh Burhanuddin Ibrahim al-Fazari. Beliau
juga menimba ilmu dari Isa bin Muth’im, Ibn Asyakir, Ibn Syairazi, Ishaq bin
Yahya bin al-Amidi, Ibn Zarrad, al-Hafizh adz-Dzahabi serta Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah. Selain itu, beliau juga belajar kepada Syaikh Jamaluddin Yusuf bin
Zaki al-Mizzi, salah seorang ahli hadits di Syam. Syaikh al-Mizzi ini kemudian
menikahkan Ibn Katsir dengan putrinya.
Selain Damaskus, beliau
juga belajar di Mesir dan mendapat ijazah dari para ulama di sana.
Prestasi
Keilmuan
Berkat kegigihan
belajarnya, akhirnya beliau menjadi ahli tafsir ternama, ahli hadits, sejarawan
serta ahli fiqih besar abad ke-8 H. Kitab beliau dalam bidang tafsir yaitu Tafsir
al-Qur’an al-‘Azhim menjadi kitab tafsir terbesar dan tershahih hingga
saat ini, di samping kitab tafsir Muhammad bin Jarir ath-Thabari.
Para ulama mengatakan
bahwa tafsir Ibnu Katsir adalah sebaik-baik tafsir yang ada di zaman ini,
karena ia memiliki berbagai keistimewaan. Keistimewaan yang terpenting adalah
menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an (ayat dengan ayat yang lain),
menafsirkan al-Qur’an dengan as-Sunnah (Hadits), kemudian dengan perkataan para
salafush shalih (pendahulu kita yang sholih, yakni para shahabat, tabi’in dan
tabi’ut tabi’in), kemudian dengan kaidah-kaidah bahasa Arab.
Karya
Ibnu Katsir
Selain Tafsir
al-Qur’an al-‘Azhim, beliau juga menulis kitab-kitab lain yang sangat
berkualitas dan menjadi rujukan bagi generasi sesudahnya, di antaranya adalah al-Bidayah
Wa an-Nihayah yang berisi kisah para nabi dan umat-umat terdahulu, Jami’
Al Masanid yang berisi kumpulan hadits, Ikhtishar ‘Ulum
al-Hadits tentang ilmu hadits, Risalah Fi al-Jihad tentang
jihad dan masih banyak lagi.
Kesaksian
Para Ulama
Kealiman dan keshalihan
sosok Ibnu Katsir telah diakui para ulama di zamannya mau pun ulama sesudahnya.
Adz-Dzahabi berkata bahwa Ibnu Katsir adalah seorang Mufti (pemberi
fatwa), Muhaddits (ahli hadits), ilmuan, ahli fiqih, ahli tafsir dan
beliau mempunyai karangan yang banyak dan bermanfa’at.
Al-Hafizh Ibnu Hajar
al-‘Asqalani berkata bahwa beliau adalah seorang yang disibukkan dengan hadits,
menelaah matan-matan dan rijal-rijal (perawinya), ingatannya sangat kuat,
pandai membahas, kehidupannya dipenuhi dengan menulis kitab, dan setelah
wafatnya manusia masih dapat mengambil manfa’at yang sangat banyak dari
karya-karyanya.
Salah seorang muridnya,
Syihabuddin bin Hajji berkata, “Beliau adalah seorang yang plaing kuat
hafalannya yang pernah aku temui tentang matan (isi) hadits, dan paling
mengetahui cacat hadits serta keadaan para perawinya. Para sahahabat dan
gurunya pun mengakui hal itu. Ketika bergaul dengannya, aku selalu mendapat
manfaat (kebaikan) darinya.
Wafatnya
Ibnu Katsir meninggal dunia pada tahun 774
H di Damaskus dan dikuburkan bersebelahan dengan makam gurunya, Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah.
Sumber dari Tafsir Quran
Ibnu Katsir
SYEIKH SHIHABUDIN AL-RAMLI
(Wafat 757H)
Syeikh
Shihabbuddin dilahirkan di Mesir pada masa kekuasaan Raja Al-Malik al-Dhohir Abi Sa'id. Ia terkenal
dengan sebutan "al-Ramli", nisbat
kepada desa Rimal, sebuah distrik di Kuwaisina, Manufiah. Ali Mubarak
mengatakan bahwa Rimal merupakan kampung kecil, bagian dari Dimyat yang dekat
dengan Maniah al-Athor ke arah masjid al-Hadhor.
Perjalanan ke Hijaz
Ketika
berumur 16 tahun beliau pergi ke Hijaz dalam bagian rombongan yang pergi ke
Madinah atas perintah Sultan al-Asraf Qoitbay untuk
merenovasi bangunan Masjid Nabawi. Pada tahun 886 H terjadi
petir besar yang menyambar Masjid Nabawi, sehingga terbakar menara yang berada di atas persemayaman Nabi. Atap masjidpun semuanya terbakar, begitu
juga mimbar, tembok, tiang dan pintu. Hampir tidak ada yang selamat selain
Qubah as-Syarifah.
Tatkala Sultan Qoitbay mendengar kabar tersebut,
menangislah beliau dan menangis pula orang-orang yang ada di sekitar beliau.
Rombongan
yang dipimpin oleh Syamsudin Muhammad bin Zaman menyertakan beberapa tenaga bangunan, tukang kayu, tukang batu
marmer dan lain-lain. Dalam
cerita ini, belum jelas apakah Syekh Syihabudin termasuk dalam kelompok tenaga bangunan, tukang
kayu atau yang lainnya. Menurut sebagian
riwayat beliau
tidak termasuk dalam kelompok tenaga bangunan, karena dalam biografinya
disebutkan bahwa beliau belajar di al-Azhar kemudian menghapalkan Al-quran,
hadist, dan fiqih empat madzhab.
Imam Sya’roni dalam Thabaqah-nya mengatakan
: “Beliau adalah Imam yang shalih, penutup ahli tahqiq di Mesir,
Hijaz dan Syam. Barangkali kepergiannya bersama utusan renovasi dan bangunan merupakan bentuk
kesusahan beliau tatkala mendengar Masjid
Nabawi terbakar. Beliau yakin bahwa ruangan al-Nabawiyah akan selamanya selamat tidak terkena malapetaka. Beliau tetap
tinggal di Hijaz, tidak pulang bersama utusan pembaharu masjid, untuk menimba
ilmu dan belajar fiqih pada ulama-ulama Hijaz.
Kembali Ke Mesir
Setelah beberapa saat tinggal di Hijaz dan sebelum
kembali ke Mesir beliau pergi ke Syam dan menetap beberapa waktu untuk belajar pada pemuka agama, ahli fatwa dan ulama-ulama yang memberi kontribusi dalam pengetahuan
beliau. Ketika kembali ke Kairo pada masa kekuasaan Sultan Qonshuh al-Ghouri, ketenarannya telah menyebar
ke semua penjuru khususnya ulama-ulama fiqih madzhab Syafi’i. Hal ini merupakan sebab mengapa Sultan al-Ghouri menugaskan beliau mengajar di Madrasah al-Nasiriyah di Qorofah.
Madrasah
Nasiriyah terletak di dekat Qubah
Imam Syafi’i. Madrasah ini dibangun
oleh Sultan Malik al-Nasir Sholahuddin al-Ayyubi dan dikhususkan untuk
belajar fiqih madzhab Imam syafi’i.
Sultan Malik juga menyediakan
kepada para pengajar 40 dinar perbulan dan roti sebanyak 60 kantung perhari. Beliau juga menetapkan
pengajar bantu dan para pelajar. Sultan Shalahuddin juga mewakafkan
kamar mandi besar (Hammam) di sebelah madrasah, toko roti dan toko-toko
di luarnya. Al-Maqrizi berkata: "Pengajaran di Madrasah al-Nasiriyah diurus oleh para
pembesar, seperti Qadli al-Qudlat Taqiyuddin Muhammad bin Rozin al-Hamawi, juga Ibnu Daqiq al-Id, begitu juga Burhanudin al-Hadr al-Sanjari.
Keutamaan Syeikh Shihabudin
Tentang
biografi Syekh Shihabbuddin Imam Sya'roni
bercerita : "Syekh Shihabbuddin merupakan orang yang wara', zuhud, alim,
bagus keyakinannya, lebih-lebih di hadapan
orang sufi. Beliau selalu menjawab
melayani dengan santun perkataan mereka. Syekh
Romli adalah
imam dalam ilmu syara". Imam Sya'roni –sang sufi- merupakan murid yang paling beliau cintai.
Dalam hal ini Syekh Sya'roni sendiri berkata :
"Syekh Shihabuddin sangat mencintaiku sebagaimana kecintaan tuan pada
sahayanya.
Tentang
keutamaan Syekh Shihabbuddin dan keilmuannya Imam Sya'roni
lebih jauh berkata : "Hampir seluruh ulama madzhab Syafi'i di Mesir adalah muridnya. Tidak ditemukan seorang alim bermadzhab Syafi'i kecuali dia adalah murid Syekh Shihabbuddin atau cucu murid. Semua permasalahan dari seluruh
penjuru daerah dikembalikan pada beliau. Ketergantungan masyarakat pada petuah
beliau melebihi ketergantungan mereka terhadap para gurunya.
Tidak
diragukan lagi Syekh Shihabbuddin mempunyai posisi keilmuan yang tinggi pada masanya, yaitu tahun 8 H, sampai-sampai Syekh Zakaria al-Anshori memberi izin beliau untuk
memperbaiki karangan-karangannya, baik semasa hidupnya atau sesudah mati. Ini adalah hal yang luar biasa sebab
Syekh Zakaria tidak pernah memberikan izin dalam masalah ini pada siapapun selain beliau. Syekh Shihabbuddin
turut memperbaiki beberapa tema atau
masalah dalam kitab Syarh al-Bahjah-nya Syekh
Zakaria dan Syarh al-Roudl semasa hidupnya. Beliau juga
mengarang beberapa kitab yang berharga seperti kitab Syarh al-Zubad dalam ilmu fiqih yang
merupakan kitab besar, yang di dalamnya berisi
pentarjihan, perdebatan, dan penyeleksian beliau yang telah diteliti
oleh Syekh Nuruddin al- Tanuta'i, sebagaimana Syekh Syamsuddin al-Khotib mengumpulkan
fatwa-fatwanya sehingga menjadi kitab yang besar dan berjilid-jilid.Meskipun
beliau telah mencapai pusat keilmuan, sastra, dan materi, namun beliau merupakan orang yang
rendah hati.
Disebutkan
dalam Thabaqah al-Kubra; "Beliau melayani diri sendiri dan
tidak memperkenankan seseorang membelikan
kebutuhannya dari pasar sampai beliau berusia lanjut dan lemah fisik". Beliau juga termasuk orang yang sangat
dihormati dari seluruh tingkatan, khususnya tingkatan para wali, orang-orang
jadzab, dan sufi seperti Syekh Nuruddin al-Musrifi, dan Syekh Ali al-Khowwash.
Syeikh al- Ramli Sang pendidik
Berjibunnya ahli fikih,
ulama, dan pelajar yang hampir tidak pernah meninggalkan beliau baik siang
maupun malam, semua itu tidak membuat beliau lupa pada keluarga dan anak-anak.
Beliau tetap memberikan pendidikan terbaik pada mereka. Tentang masalah tersebut
murid kesayangannya, yaitu Syekh Sya'roni berkata: "Al-Alim al-'alamah
al-Muhaqqiq Muhammad putera Syekh Shihabbuddin yang telah kukenal semenjak ada
dalam gendonganku sampai sekarang (akhir abad 10H.), tidak pernah aku lihat
kejelekan agamanya. Sejak kecil beliau tidak bermain dengan teman-teman sebayanya, beliau hidup dalam cahaya agama, takwa, menjaga anggota tubuh dan kewibawaan. Orang tuanya mendidik
dengan didikan yang terbaik.
Lebih jauh Imam Sya'roni
berkata : "Aku mengaji di hadapan orang tua beliau di Madrasah
al-Nashiriyyah dan kutemukan sinar kebaikan dan taufiq pada beliau. Allah telah
membuat orang-orang senang dan sayang pada beliau. Putra Syekh Shihabuddin ini juga menjadi rujukan warga Mesir dalam masalah
penyeleksian fatwa. Ulama fiqih telah sepakat akan keilmuan, wara' dan kebaikan akhlaknya. Tidak henti-hentinya beliau memperoleh ilmu dari
ayahnya sehingga tidak perlu mencari ilmu pada ulama lain. Kemudian beliau
menyebarkan apa yang dimilikinya baik berupa fiqih, hadits, tafsir, nahwu,
ma'ani, bayan, dan lainnya, sehingga beliau siap menjadi penerus ayahnya.
Setelah ayahnya meninggal beliau mengurusi pendidikan di Masjid Jami' al-Azhar. Ulama-ulama pun menerimanya
dan tidak ada yang membantah kecuali orang- orang yang tidak tahu akan
kapasitas beliau atau orang yang dipenuhi dengan rasa dengki dan iri hati.
Syeikh Shihabudin Wafat
Syekh ar-Ramli meninggal
pada tahun 757H dan jenazahnya disalati pada hari Jum'at di Masjid al-Azhar.
Imam Sya'roni
berkata: "Aku tidak pernah melihat
jenazah sebagaimana jenazah beliau. Di situ banyak manusia sehingga masjid pun
penuh oleh jama'ah yang melaksanakan
shalat jum'at pada waktu
itu. Sampai-sampai sebagian dari mereka salat di tempat lain dan kembali untuk menghormati jenazah beliau.
Masjid Jami’ al Ramli
Masjid Jami' al-Ramli sekarang terletak di daerah
Midan Bab al-Sya'riah, yang dulu terkenal dengan sebutan Bab al-Qantharah, karena di situ terdapat al-Qantharah (jembatan) di atas teluk Misri.
Tentang hal tersebut Ali Mubarak berkata: "Masjid yang berada di medan al-Quthn ini dulunya rusak, di dalamnya
terdapat makam al-Ramli dan puteranya.
Disebabkan oleh Hasanain al-Rimali
al-Khibas yang menisbatkan dirinya pada Syekh al-Ramli dan mengaku bahwa al-Ramli
adalah kakeknya, maka direnovasilah mesjid tersebut. Beliau merenovasi dengan
biaya sendiri pada tahun 1288H. Beliau juga merenovasi dua makam dan
melaksanakan syiar-syiarnya.
Masjid Jami' al-Ramli sekarang terletak di daerah
Midan Bab al-Sya'riah, yang dulu terkenal dengan sebutan Bab al-Qantharah, karena di situ terdapat al-Qantharah (jembatan) di atas teluk Misri. Tentang
hal tersebut Ali Mubarak berkata: "Masjid yang berada di medan al-Quthn ini dulunya rusak, di dalamnya
terdapat makam al-Ramli dan puteranya.
Disebabkan oleh Hasanain al-Rimali
al-Khibas yang menisbatkan dirinya pada Syekh al-Ramli dan mengaku bahwa al-Ramli
adalah kakeknya, maka direnovasilah mesjid tersebut. Beliau merenovasi dengan
biaya sendiri pada tahun 1288H. Beliau juga merenovasi dua makam dan
melaksanakan syiar-syiarnya.
Masjid
tersebut sekarang berada dalam area persegi
empat yang kira-kira panjangnya 12 m dan lebar 11m. Di tengahnya terdapat satu
tiang untuk menyangga atap yang terbuat dari kayu. Pada tembok kiblatnya
terdapat mihrab besar dan mimbar kuno yang di sampingnya terdapat
ruangan sempit. Di dalamnya terdapat makam Muhammad al-Satuhi, pelayan masjid pada masa al-Ramli. Pada arah barat masjid
terdapat ruangan persegi empat, yang
di dalamnya terdapat mihrab dan tempat sholat ke arah makam Syekh al-Ramli dan Muhammad putra beliau.[ ]
Langganan:
Postingan (Atom)